Investasi Politik vs Politik Investasi

Investasi Politik vs Politik Investasi
Oleh: DR Poempida Hidayatulloh

Keterangan Artikel
Sumber: Sinar Harapan
Tanggal: 20 Mar 06

Penerapan pemilihan langsung oleh rakyat, telah memberi kesempatan kepada semua
insan yang memenuhi syarat untuk mendapatkan suara terbanyak dari rakyat. Tentunya
mereka yang sudah menjadi figur publik dan ketokohannya tidak diragukan. Namun ada
satu catatan bahwa siapa pun yang ingin berlomba harus siap dana yang cukup untuk
kampanye. Jika tidak berkocek tebal, jalan lainnya adalah dengan menggalang dukungan
dana dari berbagai pihak.
Tapi kandidat dengan kocek tebal bukan akan menang. Dana yang memadai hanya akan
memberikan keleluasan bagi seorang kandidat untuk melakukan sosialisasi diri dan
peningkatan persepsi jati diri. Kesimpulannya, siapa saja yang hendak berlomba harus
mempunyai logistik cukup. Semakin besar skala pemilihan yang dilombakan, semakin
besar pula dana yang dibutuhkan.
Dalam konteks ini, dana yang dikeluarkan kandidat dimaksud (mungkin dana sendiri
mungkin juga pinjaman) untuk kampanye dan kegiatan lain yang berhubungan dengan
pencalonannya, merupakan investasi yang kerap disebut sebagai investasi politik.
Bicara soal investasi, maka seorang investor akan selalu memperhitungkan cara
bagaimana agar investasinya dapat kembali, yang umumnya melalui skenario pembagian
penggarapan potensi sumber daya alam di daerah atau mendapatkan proyek-proyek
APBD.
Bagi investor, jika kandidat yang didukungnya terpilih memangku satu jabatan penting,
maka hal yang utama yang diperhatikan investor adalah prospek mendapatkan
kesempatan berusaha tadi (bagi-bagi proyek). Jika tidak ada prospek, maka pemilik dana
takkan mau mendukung si kandidat.
Lima Konsekuensi
Belakangan ini muncul Peraturan Presiden (Perpres) No 67/2005 yang mewajibkan suatu
proses transparan untuk pengikatan segala kerja sama antara menteri mau pun semua
kepala daerah dengan pihak mana pun dalam bidang pembangunan infrastruktur. Semua
proyek yang berkaitan dengan infrastruktur hanya sah didapatkan jika melalui proses
tender.
Hal ini jelas-jelas sangat mempersempit keleluasan kepala daerah terpilih maupun
menteri untuk memberikan fasilitas kepada investor yang mensponsori kepala
daerah/menteri tersebut. Di lain pihak semua orang tahu bahwa proyek infrastruktur
merupakan proyek primadona yang pada umumnya merupakan quick yield target
(sasaran pengembalian investasi yang cepat).
Dengan demikian hubungan sebab akibat yang berkelanjutan dan saling mempengaruhi
kedua pihak yang selama ini terjalin, yaitu antara pejabat dan yang mensponsorinya
terjadi suatu interfensi dengan munculnya Perpres 67/2005 ini. Kondisi ini
memungkinkan timbulnya lima konsekuensi.
Pertama, permainan tender diatur untuk dapat memberikan prioritas kepada investor
tertentu. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan karena kurang siapnya sumber daya
manusia maupun peraturan dan mekanisme pelaksanaan suatu tender, apalagi
menyangkut proyek infrastruktur yang sangat teknis.
Kedua, peminat sponsor atau investor politik secara bertahap akan berkurang. Hal ini
disebabkan semakin sempit dan sulitnya pejabat terpilih memberikan prioritas kepada
sponsornya sebagai proyek balas budi.
Ketiga, perkembangan investasi akan mengalami proses perlambatan walau pun dalam
kurun waktu tertentu akan kembali normal, tergantung dari kemampuan pejabat tersebut
beradaptasi untuk merealisasikan suatu proses yang transparan.
Keempat, mengurangi peluang bagi para tokoh masyarakat untuk mendapatkan dukungan
dana dari investor.
Kelima, meningkatnya kesempatan bagi para politisi baru yang berkantong tebal untuk
turun gelanggang meramaikan pemilihan. Dengan demikian para pengusaha yang telah
sukses akan mempunyai kesempatan yang lebih baik.
Peluang Sama
Paradigma baru ini tentunya banyak memberikan hal-hal positif bagi bangsa Indonesia
untuk jangka panjang tanpa harus melupakan dan mewaspadai timbulnya ekses negatif
pada saat proses implementasinya. Beberapa hal positif yang dapat diangkat sebagai tolok
ukur adalah:
Pertama, hilangnya budaya balas budi dalam berpolitik yang cenderung mengarah kepada
KKN.
Kedua, kreatifitas yang tinggi semakin dituntut bagi semua politisi yang ingin berlomba
dalam proses pemilihan langsung. Besar kemungkinannya bagi politisi yang paling
kreatif akan memenangkan pemilihan.
Ketiga, memberikan peluang yang sama bagi semua investor untuk memberikan
penawaran yang terbaik (terbaik secara teknis dan komersial) dalam hal pengerjaan
proyek-proyek infrastruktur.
Keempat, memperkecil peluang “patgulipat” dalam pelaksanaan proyek-proyek
infrastruktur. Hal ini tentunya akan membuat semakin efisien dana-dana pemerintah yang
dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur.
Yang harus diwaspadai adalah celah bagi munculnya masalah-masalah hukum baru
berkenaan dengan proses tender dan pelaksanaan proyek yang bersifat kontroversi dan
manipulasi. Karenanya sangat diperlukan penetapan suatu prosedur tender yang jelas dan
gamblang tanpa dualisme pengertian.
Selain daripada itu juga diperlukan penegakan hukum yang tegas dan objektif. Persepsi
bahwa politik hanya untuk orang berkantong tebal juga masih melekat di kalangan
masyarakat terutama di kalangan politisi praktis. Oleh karena itu pemerintah perlu
mengadakan sosialisasi dan program penyadaran masyarakat yang tepat sasaran
sehubungan dengan hal tersebut.
URL Source: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0602/15/opi02.html
DR Poempida Hidayatulloh Penulis adalah teknolog dan
pengamat politik
Keterangan Artikel
Sumber: Sinar Harapan
Tanggal: 20 Mar 06
Catatan:

Tinggalkan Balasan