KRISIS FINANSIAL GLOBAL
Oleh: DR. Poempida Hidayatulloh
(Penasehat BPP HIPMI)
Boleh jadi Barrack Obama, kandidat Presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat
mendapatkan keunggulan lantaran isu Krisis Finansial yang berkembang. Tentunya kubu Partai
Republikan, dengan Kandidat John McCain, harus bekerja keras untuk dapat meyakinkan rakyat
AS bahwa pemerintahannya ke depan dapat menanggulangi permasalahan tersebut jika terpilih
nanti.
Memang benar, apa yang dilakukan secara ekonomi oleh Pemerintahan George Bush yang juga
dari Partai Republikan sangat memberatkan beban anggaran belanja AS, apalagi dengan adanya
beban biaya untuk penempatan pasukan di Irak. Hal ini sungguh mengidentifikasikan bahwa
Pemerintahan Bush telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap terjadinya krisis
finansial tadi.
Namun demikian, jika dikaji lebih jauh, penyebab krisis finansial global yang sedang terjadi
bukan semata-mata diakibatkan oleh beban anggaran belanja AS yang besar saja. Tetapi lebih
diakibatkan dari tatanan fundamental perekonomian AS yang kapitalistik dan telah diterapkan
dari jauh hari sebelum pemerintahan George W. Bush berkuasa.
Perekonomian yang maju dan menggelembung (bubble economy) ini suatu saat senantiasa dapat
meletup (burst) yang berakibat krisis. Sialnya saja letupan itu terjadi pada saat pemerintahan
partai Republik di bawah kepemimpinan George W. Bush.
Lalu, apa sebenarnya yang menyebabkan gelembung ekonomi itu meletup? Berbagai macam
banyak faktor dapat menjadi sebabnya yang tidak mungkin dapat dibahas secara singkat. Namun
demikian, yang jelas, hal tersebut diawali dengan bangkrutnya para pemain “Investment Banker”
kelas kakap yang berbasis di AS.
Kegagalan para Investment Banker ini untuk membayar hutangnya menyebabkan hilangnya
kepercayaan pasar terhadap korporasi-korporasi besar yang terdaftar dalam bursa yang juga
memakai jasa investment banker tadi. Hal ini kemudian menyebabkan rontoknya harga saham
korporasi-korporasi tersebut. Dalam keadaan yang chaos seperti ini, likuiditas keuangan di pasar
pun menjadi seret.
Dengan demikian, akan sulit mencari dana (fund) di pasar untuk kegiatan usaha apa pun.
Dampak penghujungnya, situasi seperti ini akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi
yang bisa jadi berakibat pertumbuhan yang negatif.
Memang hal ini terutama terjadi di AS, dan pada umumnya dunia pun bereaksi. Hal ini
dikarenakan banyak sekali negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, yang berlandaskan
segala transaksi perekonomiannya dengan Dollar AS. Dengan demikian efek dari krisis finansial
ini menjadi isu global yang harus dicermati, dihadapi dan dicarikan jalan keluarnya.
Bagi kita Bangsa Indonesia, yang harus segera dilakukan adalah mengambil berbagai langkah
untuk meminimalisasi dampak krisis tersebut agar tidak menjadi suatu krisis yang berkelanjutan.
Jangan sampai basis perekonomian yang sudah ditata oleh pemerintahan SBY-JK melalui
penataan anggaran yang lebih bijak, bisa terseret ke pusaran krisis tersebut.
Seyogyanya Bangsa ini harus belajar dari pengalaman krisis moneter di tahun 1997.
Menggantungkan transaksi perekonomian dan mata uang kita terhadap Dollar AS jelas tidak
akan membawa pemantapan kepada perekonomian nasional. Apalagi sekarang sumber
masalahnya timbul dari AS sendiri.
Penulis merasa heran, pemerintah sampai saat sekarang belum melakukan langkah-langkah
untuk mengalihkan basis transaksi dengan Dolllar AS ini kepada suatu mata uang yang lebih
kuat atau emas sekali pun. Walhasil ditengah-tengah nilai tukar mata uang asing lain menguat
terhadap Dollar AS, Rupiah malah anjlok. Sungguh sangat disayangkan dan ironis sekali.
Secara bijak mematok Rupiah dengan emas akan lebih mapan. Mengapa demikian? Harga emas
cenderung tidak pernah turun (mengalami inflasi), bahkan selalu naik. Masalahnya sekarang ini
adalah apakah struktur peraturan bank sentral kita dapat mengakomodasi gagasan tersebut. Jika
memang bisa, tidak ada alasannya Pemerintah untuk tidak melakukan reposisi kebijakan
transaksi ekonomi tadi.
Tentunya, jika langkah tersebut diambil, pemerintah akan mendapatkan tekanan politik dari AS.
Namun demikian, kita tidak perlu khawatir. Karena, dalam keadaan seperti ini pun AS akan
mengalami kesulitan melakukan manuver politik internasional yang luar biasa. Oleh karena itu
inilah saatnya yang tepat bagi Bangsa Indonesia memulai langkah untuk melepaskan segala
ketergantungannya kepada AS.
Sudah saatnya Bangsa ini tampil di dunia secara mandiri. Kita punya sumber daya alam yang
senantiasa menjadi “bargaining power” kita. Dan kita pun mempunyai basis pasar yang potensial
dengan jumlah penduduk yang besar.
Tentunya untuk memperkuat basis perekonomian nasional pun, komitmen pemerintah untuk
mendorong tumbuh kembangnya ekonomi kerakyatan berbasis usaha kecil menengah (UKM)
harus tetap dijalankan secara konsisten. Hal ini dapat memperkuat basis pasar
yang potensial tadi menjadi semakin kuat.
Jika langkah pemantapan anggaran belanja nasional yang lebih bijak, stabilisasi nilai tukar
Rupiah yang konsisten, dan perkuatan pasar domestik berbasis ekonomi kerakyatan ini berhasil
diimplementasikan dengan baik. Penulis berkeyakinan bahwa Bangsa Indonesia telah siap
menghadapi krisis finansial global ini.