Republika, Senin, 27 Juni 2005
Reposisi Kebijakan Teknologi Nasional
Poempida Hidayatulloh
Doktor dari Imperial College of Science, Technology and Medicine,
London, Pengusaha, dan Wakil Bendahara DPP Partai Golkar
Sudah sepuluh tahun pemerintah Malaysia memberikan dukungan bagi balapan Formula One (F1).
Kebesertaan tersebut dimulai dengan kemitraan Petronas, perusahaan minyak nasional Malaysia, Tim
F1 Sauber. Petronas membeli mesinn F1 dari tim Ferrari yang kemudian di re-badge dengan nama
Petronas dan kemudian dipasang di mobil balap buatan Sauber. Kemudian tim tersebut tersohor
menjadi Tim Sauber-Petronas. Hal ini mereka terus lakukan sampai sekarang.
Di pertengahan dekade 90-an, pemerintah Malaysia sendiri pernah menjadi sponsor dari Tim
Stewart-Ford. Alhasil, nama Malaysia yang terpampang di mobil Stewart-Ford, sangat melekat dan
identik dengan F1. Barulah kemudian di akhir dekade 90-an Malaysia mulai membangun Sirkuit
Sepang dan menggelar ajang balapan jet darat itu di belahan timur dunia, kedua setelah Australia.
Pada saat itu, Sepang dianggap sirkuit tercanggih di bandingkan sirkuit-sirkuit lainnya. Sampai saat
ini pun Sirkuit Sepang tetap dianggap sirkuit yang ideal untuk ajang atraksi F1.
Evolusi peran-serta pemerintah Malaysia dalam urusan F1 ini juga ditopang dengan penekanan
pembangunan di sektor industri kendaraan bermotor. Dengan positioning yang tepat, industri
otomotif Malaysia telah tumbuh dengan pesat, tidak hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam
negeri, tetapi juga untuk kebutuhan ekspor. Di Eropa, khususnya di Inggris, produk kendaraan
Malaysia, Proton, banyak diminati. Awal suksesnya Proton kemudian diikuti dengan Perodua dan
sekarang Petronas telah mempunyai produk motor balap dan Gokart yang bisa diandalkan. Hal ini
pun menimbulkan multiplier effects di mana para pengusaha lokal yang bergerak di bidang industri
pendukung otomotif tumbuh dengan suburnya. Kesan yang diperoleh, Malaysia telah mampu
menjadi negara Industri Automotif yang maju.
Bukan kebetulan
Cerita sukses negeri jiran, bukan suatu kejadian yang kebetulan saja terjadi. Hal tersebut merupakan
suatu sinergi dari berbagai macam proses yang pada akhirnya dapat memobilisasi semua elemen
terkait untuk dapat membangun suatu industri di bidang automotif. Awal daripada sukses tersebut
tentunya dimulai dengan positioning yang tepat. Tanpa F1, mungkin persepsi bahwa Malaysia telah
menguasai teknologi otomotif tidak terbentuk.
Berbeda dengan India dengan industri otomotifnya yang cukup maju tidak mendapatkan persepsi
yang sama dengan Malaysia. Persepsi ini menjadi sangat penting karena jika kita mengacu kepada
pasar, maka persepsi yang baik akan senantiasa mempunyai nilai jual yang tinggi. Tentunya hal itu
dapat dimanfaatkan dalam berbagai macam hal. Intinya, persepsi yang baik membawa kredibilitas
yang sulit diukur dengan suatu nilai tukar (intangible asset).
Di Indonesia, industri otomotif tidak menjadi tolok ukur (bench mark) dari proses industrialisasi
nasional. Padahal, pasar domestik untuk produk tersebut sangat terbuka lebar. Kandungan lokal dari
produk otomotif yang berada di pasar domestik masih perlu ditingkatkan lebih jauh. Pada zaman
Orde Baru telah dicoba pendekatan pembangunan teknologi nasional dengan menjadikan industri
penerbangan sebagai pionir. Tetapi implementasi yang diterapkan tidak mengacu kepada pasar.
Pendekatan yang dilakukan lebih cenderung menggunakan kekuasaan dan lobi. Sehingga sumber
daya nasional yang ada terserap menjadi suatu investasi yang besar di bidang tersebut. Fatalnya,
produk yang dihasilkan dari industri tersebut kurang laris di pasaran. Sehingga semua harapan pun
sirna, tinggal kenangan belaka.
Penulis berpendapat bahwa pemerintah Indonesia sangat perlu memikirkan kembali dan menciptakan
simbol-simbol pembaharuan dan inovasi dalam hal teknologi. Tidak mesti merupakan suatu program
pemerintah yang dipaksakan dari atas ke bawah. Tetapi dalam hal ini pemerintah dapat memberikan
berbagai macam fasilitas dan stimulus untuk tumbuh subur dan berkembangnya suatu teknologi yang
dapat dijadikan tumpuan harapan dan kebanggaan nasional. Contoh sederhananya adalah industri
telepon genggam di Finlandia yang dimulai dengan industri rakyat yang kemudian muncul menjadi
salah satu leading product di bursa telepon genggam dunia dengan merek Ericsson. Dalam hal ini
jelas oemerintah Finlandia sebagai pembuat kebijakan, memberikan strategi dan arahan bagi
pertumbuhan suatu teknologi yang kemudian menjadi suatu ciri dan kebanggaan nasional mereka.
N250 dan kebijakan teknologi nasional
Sangatlah sulit bagi kita untuk dapat mengkategorikan posisi kita dalam hal implementasi teknologi
pada saat ini. Jika dianggap negara agraris, produk sektor pertanian kita belum mencukupi kebutuhan
domestik dan masih cenderung menggunakan pendekatan teknologi klasik. Di bidang industri, sangat
terasa kurangnya riset dan pengembangan yang aplikatif, sehingga laju inovasi baru di sektor tersebut
pun tidak seperti yang diharapkan. Hal ini membuat persepsi dunia akan kemajuan teknologi di
republik ini masih terbelakang.
Negara-negara maju selalu berorientasi pada pasar dalam hal pengembangan teknologi di berbagai
bidang. Sederhananya, teknologi secanggih apa pun jika tidak dapat dimanfaatkan oleh rakyat banyak
tentunya hanya akan merupakan suatu penemuan di bidang ilmu pengetahuan. Dengan besarnya
jumlah penduduk dan luasnya wilayah Indonesia, tidak diragukan lagi bahwa Indonesia mempunyai
potensi pasar yang sangat besar untuk implementasi teknologi di sektor apa pun. Namun demikian
diperlukan positioning yang tepat untuk dapat mengembangkan dan memanfaatkan suatu teknologi
yang tepat secara optimal. Hal ini dikarenakan pendayagunaan suatu teknologi apa pun akan
memerlukan kapital. Semakin besar skala pendayagunaan teknologi tersebut semakin besar kapital
yang diperlukan dan dengan demikian semakin besar resiko yang terkait dengan kegiatan tersebut.
Kita semua tahu bahwa keadaan keuangan negara kita belum sehat. Lalu apakah pengembangan
teknologi harus menjadi prioritas terakhir? Penulis sangat bergembira dengan rencana dihidupkannya
kembali proyek pesawat N250 di PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Dengan positioning yang baru
tanpa memakai teknologi fly by wire yang sangat mahal, merupakan langkah yang tepat. Hal ini
menunjukan PT DI telah mempunyai suatu upaya yang mengacu ke pada pasar. Sederhananya, jika
ongkos produksi murah, maka harga jual produk, dalam hal ini pesawat N250 akan menjadi
kompetitif. Dan jika memang pasar bisa menerima pesawat tersebut dengan harga yang kompetitif,
maka versi upgrade yang menggunakan teknologi fly by wire dapat kemudian dipertimbangkan untuk
ditawarkan.
Strategi positioning PT DI yang baik belum tentu menjadi strategi yang jitu. Mengapa demikian?
Dengan mencopot teknologi fly by wire memberikan persepsi adanya proses downgrade dari desain
awal yang agak dipaksakan. Hal ini tentunya akan menimbulkan berbagai pertanyaan konsumen,
terutama dalam hal kenyamanan dan keselamatan terbang. Dalam hal ini, PTDI membutuhkan suatu
program sosialisasi yang intensif dengan konsumen. Selain itu, dengan semakin murahnya harga tiket
domestik, dan semakin dahsyatnya persaingan antara maskapai penerbangan lokal, maka PT DI perlu
mengkaji secara seksama life cycle cost dari pesawat N250. Walaupun harga jual produk tersebut
murah, jika biaya pemeliharaannya mahal maka hal tersebut akan menjadi poin minus.
Penulis berpendapat, pemerintah perlu mendukung dihidupkannya kembali proyek N250 ini.
Tentunya dengan beberapa catatan, yaitu: program tersebut harus memberikan multiplier effects
untuk perekonomian nasional, terutama di bidang industri dan perhubungan. Pemerintah hanya
berperan sebagai fasilitator dan tidak menjadikan proyek tersebut anak emas sehingga proyek
tersebut menjadi proyek yang self-sustained dan bukan proyek mercusuar. Dan yang terakhir, proyek
tersebut harus dapat menjadi leader dari bangkitnya inovasi teknologi Indonesia.
Penulis pun berharap agar pengembangan teknologi nasional yang tepat dan strategi positioning yang
jitu dapat membangkitkan kepercayaan diri dan martabat bangsa Indonesia terutama generasi
mudanya. Lebih dari itu kita dapat berharap agar dunia tidak memandang sebelah mata kepada
kompetensi nasional bangsa Indonesia. Penulis optimistis bahwa dengan semangat kebersamaan,
idealisme, profesionalisme, kejujuran dan kerja keras, bangsa Indonesia akan dapat menjadi suatu
bangsa dengan daya saing, kompeten, dan bermartabat tinggi melalui suatu proses pengembangan
teknologi nasional yang terintegrasi dengan baik.
( )