REPOSISI ORGANISASI MASSA

REPOSISI ORGANISASI MASSA
Oleh: Dr. Poempida Hidayatulloh

Manusia normal adalah mahluk sosial yang ingin berinteraksi dalam suatu pergaulan komunitas (zoon politicon), dalam pranata terkecil komunitas itu disebut keluarga, yakni sebuah sistem organisasi dimana ada kepala (pemimpin) dan anggota keluarga, juga disana berjalan aturan-aturan yang berlaku untuk keluarga tersebut. Demikian pula organisasi adalah pembagian tugas dan petugas, yang pada intinya persekutuan dari beberapa orang, agar hubungan kerja dalam organisasi berjalan dengan baik maka dibentuk dan disepakatilah sejumlah aturan main yang hendak dipatuhi oleh segenap organ organisasi.
Bagi setiap orang yang bergelut dalam ormas salah satu sikap yang harus dimiliki adalah “kesetiaan” untuk mematuhi aturan main yang telah disepakati bersama, misalnya dalam bentuk Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Urain Tugas (Job Description), dst.
Berorganisasi sangat penting peranannya dalam mendewasakan pola pikir dan perilaku disamping mengembangkan pergaulan (jaringan) setiap orang, menempa diri dalam menerima tanggung jawab, memimpin dan dipimpin orang lain, melatih diri terhadap aturan main (mekanisme), dan banyak manfaat lain-lain yang bisa didapatkan dari berorganisasi.

Apa itu Ormas?
Makna dari Ormas Secara umum dapat dijabarkan sebagai berikut:
Organisasi Massa (ormas) adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat atas dasar kesamaan kepentingan, kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah NKRI.
Ormas di daftar/terdaftar dipemerintahan. (Direktorat Kesatuan dan Politik Bangsa (Kesbang), Departemen Dalam Negeri).
Tidak termasuk ormas: Organisasi yang dibentuk oleh pemerintah, seperti Pramuka, KORPRI, dll; Organisasi yang dibentuk oleh masyarakat yang bergerak dibidang perekonomian, seperti ; koperasi, Perseroan Terbatas, dll.
Sasaran pokok peranan ormas : Memberikan pendidikan pemantapan kesadaran kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; Peranan aktif dalam pembangunan masyarakat; Sarana untuk berserikat/berorganisasi; Saran penyaluran aspirasi dalam pembangunan nasional; Ormas sebagai wadah pembinaan dan pengembangan anggotanya merupakan tempat penempaan kepemimpinan dan peningkatan ketrampilan.
Agar mudah dikontrol oleh Pemerintah maka ormas berhimpun dalam satu wadah pembinaan dan pengembangan yang sejenis, seperti untuk Ormas Pemuda terwadahi di KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), Ormas Tani di HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), dll.

Sejarah Ormas di Indonesia

Perjalanan sejarah Republik Indonesia tidak pernah tertinggal dari peran organisasi massa (ormas) di dalamnya. Ormas merupakan menifestasi dari UUD 1945 dalam hal kebebasan berserikat, yang diatur dalam pasal 28. Namun demikian peran dari Ormas tercatat dalam sejarah sejak sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, sebagai berikut:

16 Oktober 1905, Syarikat Dagang Islam (SDI) berdiri di kampung Sondokan, Solo, oleh Haji Samanhudi, Sumowardoyo, Wiryotirto, Suwandi, Suryopranoto, Jarmani, Haryosumarto, Sukir dan Martodikoro.

Tahun 1907, Insulinde didirikan di Bandung sebagai reaksi terhadap faham kolot dari Indische Bond (didirikan tahun 1898 oleh peranakan dan totok, organisasi sosial ekonomis buat kepentingan peranakan).

20 Mei 1908, Sebagai tindak-lanjutnya, dr. Sutomo dan rekan-rekannya mendirikan Budi Utomo (BU) di Jakarta. Corak baru yang diperkenalkan BU adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern dalam arti bahwa organisasi itu mempunyai pimpinan, ideologi yang jelas dan anggota. Perkumpulan ini di pimpin oleh kaum Ambtenaar, yaitu para pegawai negeri yang setia kepada pemerintah kolonial Belanda. Pusat perkumpulan ditempatkan di Yogyakarta. Sebagai ketua Pengurus Besar yang pertama di pilih R.T. Tirtokusumo, bupati Karanganyar, sedang anggota-anggota Pengurus Besar yang lain-lain pegawai negeri atau bekas pegawai negeri belaka. Ia memimpin BU sejak tahun 1908 sampai dengan tahun 1911. Kemudian dia digantikan oleh Pangeran Aryo Noto Dirojo dari istana Paku Alam, Yogyakarta. Sebagai orang keraton yang di beri gaji oleh Belanda, maka ketua BU itu sangat patuh kepada induk-semangnya.

1908, Pada tahun yang sama, berdirilah Indische Vereeniging (IV) di Negeri Belanda, yang diprakarsai oleh Sutan Kasayangan dan R.M. Noto Suroto. Semula organisasi ini merupakan pusat kegiatan sosial dan kebudayaan sebagai ajang bertukar pikiran tentang situasi tanah air. Kemudian bernama Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia).

Agustus 1912, Pemimpin-pemimpin golongan Minahasa mendirikan “Rukun Minahasa” di Semarang. Tujuannya ialah mencapai derajat hidup yang layak bagi rakyat Minahasa, antara lain dengan jalan menghilangkan sebab-sebab yang menjadikan turun kedudukannya, memajukan nafsu tolong-menolong menyokong pendidikan dan pengajaran, memajukan ekonomi rakyat. Ketuanya adalah J.H. Pangemanan. Pemuka yang lain-lain adalah Dr. Ratulangi dan P.A. Mandagie.

10 September 1912, Sampai dengan awal tahun 1912, Syarikat Dagang Islam masih memakai anggaran dasar yang lama yang di buat oleh Haji Samanhudi. Karena beliau tidak puas atas anggaran dasar itu, maka beliau menugaskan kepada Cokroaminoto di Surabaya yang baru masuk Syarikat Islam, supaya membuat anggaran dasar yang baru yang disahkan di depan Notaris pada tanggal 10 September 1912. Sehingga Syarikat Dagang Islam (SDI) berganti nama menjadi Syarikat Islam (SI).

18 Nopember 1912, Di Yogyakarta, berdiri Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah di sebagian besar programnya sangat mencurahkan pada usaha-usaha pendidikan serta kesejahteraan sekaligus gencar melakukan kegiatan program dakwah guna melawan usaha-usaha Kristenisasi yang mulai menjamur di daerah Jawa, juga memberantas ketakhayulan-ketakhayulan lokal yang memang sudah menjadi kepercayaan di kalangan rakyat. Muhammadiyah bertujuan memajukan pengajaran berdasarkan agama, pengertian ilmu agama dan hidup menurut peraturan agama.

25 Desember 1912, Partai Hindia atau IP (Indische Partij) didirikan oleh E.F.E. Douwes Dekker alias Setiabudi di Bandung, dan merupakan organisasi campuran orang Indo dan bumiputra. IP menjadi organisasi politik yang kuat pada waktu itu, setelah ia bekerjasama dengan dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantoro. Douwes Dekker menjadi ketuanya, dr. Cipto Mangunkusumo dan R.M. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro) menjadi anggota pengurus. Indische Partij terbuka buat semua golongan bangsa (bangsa Indonesia, bangsa Eropa yang terus tinggal disini, Belanda peranakan, peranakan Tionghoa dan sebagainya), yang merasa dirinya seorang “indier”.

Tahun 1913, “Mena Muria” berdiri di Semarang, untuk mencapai kemajuan dan kemakmuran golongan Ambon.

Mei 1914, H.J.F.M. Sneevlit dengan teman-temannya bangsa Belanda (Brandsteder, Ir. Baars, Van Burink) yang sepaham, mendirikan ISDV (de Indische Sociaal Demoratische Vereeniging) di Semarang. ISDV bertujuan menyebarkan faham-faham Marxis.

7 Maret 1915, Tri Koro Dharmo didirikan di Jakarta di bawah pimpinan dr. Satiman untuk mempersatukan pelajar-pelajar dari pulau Jawa, kemudian bernama “Jong Java”. Semboyan : “Sakti, Budi, Bakti”. Yang menjadi anggota kebanyakan murid-murid sekolah menengah asal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.

1916, Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916.

13 Agustus 1917, Didirikan Perserikatan Indie Weerbaar, bermaksud mencari jalan untuk dapat mempertahankan Indonesia dalam hal ekonomi dan militer.

9 Desember 1917, Mengikuti jejak murid-murid Jawa dari sekolah menengah, murid-murid Sumatra mendirikan Jong Sumatranen Bond di Jakarta. Maksud tujuannya antara lain adalah memperkokoh hubungan ikatan di antara murid-murid asal dari Sumatra dan menanam keinsyafan bahwa mereka kelak akan menjadi pemimpin, dan membangunkan perhatian dan mempelajari kebudayaan Sumatra. Di antara pemimpin-pemimpinnya terdiri Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin.

Januari 1918, Sarekat Sumatra berdiri, berpolitik “cooperatie” dengan azas “kebangsaan Sumatra”. Berdiri perkumpulan Serikat Sumatra di Jakarta, tidak lama sebelum pembukaan Volksraad terjadi. Lain dengan Budi Utomo dan Pasundan, Serikat Sumatra tidak berusaha dalam lapangan kebudayaan, tetapi terus diarahkan ke jurusan politik. Perserikatan ini berusaha untuk mendapatkan perwakilan dalam Majelis Haminte, di tempat-tempat yang banyak berpenduduk orang Sumatra. Tentang agama, Serikat Sumatra berpendirian netral, demokrasi sangat disetujui dan dikemukakan, juga berpendirian memajukan perekonomian rakyat di kalangan orang Sumatra.

1918, Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

31 Januari 1926, Beragam komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Penulis tidak akan membahas secara terinci tentang sejarah perhelatan pendirian Organisasi Massa Pra Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Namun demikian Peran dari Ormas selama periode pra Proklamasi Kemerdekaan menujukan suatu evolusi nasionalisme yang pada akhirnya menghantarkan Bangsa Indonesia kepada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini akan di jelaskan kemudian.

Faktor Pendorong didirikan Ormas

Diatas telah disampaikan bahwa Ormas dibentuk dikarenakan adanya kesamaan kepentingan dan visi dari para organ ormas tersebut.
Dapat diberikan contoh dalam hal Ormas Sarikat Dagang Islam (1905) yang memiliki azas dan tujuan: mengutamakan sosial ekonomi, mempersatukan pedagang-pedagang batik, mempertinggi derajat bumiputra, memajukan agama dan sekolah-sekolah Islam.
Pendirian SDI dilatar-belakangi oleh:
Kompetisi yang meningkat dalam bidang perdagangan batik, terutama terhadap golongan Cina.
Sikap superioritas orang-orang Cina terhadap orang-orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya Revolusi Cina (1911).
Adanya tekanan oleh masyarakat Indonesia di Solo (dari kalangan bangsawan mereka sendiri).
Kemudian, SDI berevolusi menjadi Syarikat Islam (SI, 1912), dan meletakkan dasar perjuangannya atas tiga prinsip dasar, yaitu :
Asas agama Islam sebagai dasar perjuangan organisasi.
Asas kerakyatan sebagai dasar himpunan organisasi.
Asas sosial ekonomi sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang umumnya berada dalam taraf kemiskinan dan kemelaratan.
Pada tanggal 26 Januari 1913, Dalam rapat raksasa SI di Kebun Binatang Surabaya, Umar Sa’id Cokroaminoto menegaskan bahwa tujuan SI adalah menghidupkan jiwa dagang bangsa Indonesia, memperkuat ekonominya agar mampu bersaing dengan bangsa asing. Usaha di bidang ekonomi tampak sekali, khususnya dengan berdirinya koperasi di Surabaya, PT. “Setia Usaha”, penerbitan surat kabar “Utusan Hindia”, menyelenggarakan penggilingan padi dan juga mendirikan bank.
Kongres SI pertama yang di pimpin oleh Cokroaminoto ini, antara lain menerangkan bahwa SI bukan partai politik dan tidak beraksi melawan Pemerintah Belanda. Walaupun begitu, dengan agama Islam sebagai lambang persatuan dan dengan penuh kemauan mempertinggi derajat rakyat, SI tersebar di seluruh Jawa bagai banjir yang hebat sekali. Ditentukan H. Samanhudi sebagai Bapak SI, Sentral Komite SI didirikan (di susun).

Contoh berikutnya adalah Nahdhatul Ulama (tahun) yang mempunyai tujuan: Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama’ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usaha Organisasi NU:
Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat. Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.

Dari dua contoh klasik di atas dan tentunya banyak lagi contoh-contoh lainnya, dapat diambil benang merah yang masih cukup relevan dengan kondisi Ormas di Indonesia sekarang ini. Ormas Indonesia didirikan pada dasarnya dilatarbelakangi oleh kepentingan sebagai berikut:
Sosial: Pengangkatan isyu-isyu sosial dan usaha-usaha pembelaan terhadap kaum marginal.
Ekonomi: Upaya-upaya mengangat derajat kemakmuran dan kesejahteraan kelompoknya.
Politik: Upaya-upaya rektrutmen massa politik untuk kemudian disalurkan aspirasi politiknya melalui partai politik tertentu yang mempunyai kesepahaman ideologi yang sama pada awalnya. Namun diera demokrasi sekarang kepentingan menjadi lebih faktor perekat yang signifikan, nilai-nilai kesamaan ideologi menjadi tidak esensial selama tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD ‘45.
Relijius: Upaya-upaya perkuatan kelompok Reliji dalam melakukan pembinaan dan rekrutmen.
Budaya: Upaya-upaya penguatan dan konservasi kebudayaan.
Profesi: Upaya-upaya peningkatan kualitas profesionalime di bidang profesi tertentu.
Networking/Lobby: Upaya-upaya perluasan jaringan (network) dalam rangka penguatan keenam poin di atas untuk menjadi kekuatan yang dapat memberikan pengaruh yang bermanfaat untuk melobby kekuasaan.

Pada dasarnya masih banyak faktor penting yang dapat dimanfaatkan sebagai “driving force” dalam pembentukan suatu Ormas. Namun di Indonesia belum menjadi suatu komoditas yang menarik atau pun diizinkan oleh pemerintah. Terutama yang bersinggungan dengan isyu-isyu Pertahanan, Keamanan, Konservasi Lingkungan Hidup, Ilmu Pengetahuan, Riset dan Teknologi.

Karakteristik Ormas Indonesia

Dalam perjalanan mencapai tujuannya Ormas memerlukan suatu pondasi yang menjadi basis kekuatan dari Ormas tersebut. Kekuatan Ormas di Indonesia masih mengandalkan beberapa faktor berikut:
Figur sentris: Ketokohan para pemimpin Ormas di Indonesia menjadi suatu hal yang sangat krusial dalam membangun dan memperkuat kekuatan Ormas tersebut.
Ideologi: Fleksibilitas ideologi menjadi titik awal kebesaran Ormas dikarenakan besar kecilnya Ormas akan tergantung dari eksklusifitas atau ekstrofertifitas dari Ormas tersebut.
Dukungan Pemerintah: Rekognisi dari pemerintah dan dukungan fasilitas pemerintah masih menjadi darah untuk keberlangsungan Ormas tersebut.
Militansi: Militansi dari segenap organ Ormas selalu menjadi isu sentral dalam perjalanan pembinaan Ormas. Terutama dalam hal voluntarisme kader untuk membesarkan Ormas. Intinya benefit secara ekonomis dan politis masih menjadi daya tarik terkuat untuk kader bergabung dengan ormas.
Moral: Moral daripada segenap organ Ormas pun perlu mendapatkan garis bawah. Karena disinyalir telah semakin banyaknya Ormas hanya dimanfaatkan untuk mengakomodasi kepentingan elit Ormas tersebut. Kepatuhan dan ketaatan terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ormas selalu berkembang menjadi konflik internal yang kemudian terjadinya proses pengkerdilan Ormas.
Administrasi: Ormas-ormas yang ada masih memiliki kesulitan dalam hal administrasi, terutama dalam hal pembukuan keuangan dan pendataan anggota.

Permasalahan Mutakhir Ormas-ormas di Indonesia

Berdasarkan data yang diterima penulis, paling sedikit sebanyak 72.000 Organisasi Massa di Indonesia diidentifikasi hanya menjadi alat kekuasaan dan menjadi bisnis keluarga. Dari 80.000 ormas yang diketahui, kurang lebih hanya 8,000 yang benar-benar menjalankan fungsinya sebagai ormas.
Banyaknya Ormas yang dibentuk ternyata tidak dibarengi dengan pemahaman dan pengertian terhadap esensi keormasan itu sendiri. Ormas kemudian tidak berfungsi secara maksimal akibat kurangnya pemahaman dan ketidaktahuan fungsi ormas oleh segenap organ Ormas, yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
Fenomena menjamurnya jumlah ormas dimulai sejak era reformasi tahun 1998. Data jumlah ormas ini dihimpun Depdagri dari hasil kompilasi data jumlah ormas yang tercatat di departemen lain. Di Departemen Sosial, terdaftar 25.000 ormas. Di Depdagri, kurang lebih ada 10.000 ormas yang terdaftar.
Ormas di Indonesia dapat digolongkan ke dalam tiga kategori. Pertama, ormas yang sehat dan kredibel. Jumlahnya hanya 10 persen dari total ormas di Indonesia. Sisanya dibagi dalam dua kategori, yaitu “plat merah” dan “ormas plat kuning”.
Ormas plat merah merupakan ormas yang sengaja dibentuk pihak yang berkuasa. Tujuannya sekadar untuk mempertahankan kekuasaan.
Kemudian ormas “plat kuning” yang dibentuk sebagai bisnis keluarga. Satu keluarga bisa mempunyai enam ormas yang diketuai setiap anggota keluarga. Ormas-ormas yang menjadi bisnis keluarga ini, rajin mengirim proposal kegiatan ke berbagai instansi walaupun kegiatannya tidak jelas. Lebih jauh lagi sering terjadi pemerasan oleh Ormas-ormas berkategori ini kepada pejabat-pejabat pemerintah.

Pembubaran Ormas

Pembubaran Organisasi Massa (Ormas), yang sekarang banyak diwacanakan kepada Ormas yang sering melalukan kegiatan anarkisme dan kekerasan. Haruslah dilakukan dengan melihat dari sisi hukum mengenai kriteria dan mekanisme pembubaran organisasi masyarakat (ormas) berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1989 tentang Ruang Lingkup, Tata Cara Pemberitahuan Kepada Pemerintah serta Papan Nama dan Lambang Organisasi Kemasyarkatan.

Hal ini dikarenakan banyak terjadi kekerasan, ancaman kekerasan, anarkisme, dan ancaman disintegrasi terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disebabkan oleh perilaku dan aksi dari beberapa Ormas.

Kriteria dan mekanisme pembubaran ormas, mempunyai hubungan dengan ideologi dari Ormas, keanggotaan, program kerja, dan aksi-aksi kongkrit Ormas. Pembubaran Organisasi Masyarakat melalui dua prosedur yaitu melalui pembekuan terlebih dahulu dan pembubaran secara langsung tanpa ada pembekuan. Mekanisme dan prosedur pembubaran Ormas adalah kewenangan pemerintah.
 
Pembubaran ormas memang bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah anarkisme yang dilakukan oleh suatu Ormas. kalaupun Ormas tersebut dibubarkan akan muncul Ormas-ormas baru yang lain, yang bergerak sebagai organisasi bawah tanah. Gerakan sembunyi-sembunyi ini lebih berbahaya dampaknya secara sosial maupun politis. Secara ekstrim gerakan ini dapat mengarah kepada suatu gerakan separatisme yang dikarenakan ideologi dan pandangan yang terlampau kaku dan keras. Dalam hal ini pembubaran menjadi suatu langkah yang tidak efektif.

Masalah kekerasan dan anarkisme yang timbul pada umumnya disebabkan kurang sigap tegasnya pemerintah dalam menangani tuntutan-tuntutan masyarakat. Jika pemerintah mempunyai ketegasan, tentu anarkisme yang dimaksud dapat diantisipasi dan akan hilang dengan sendirinya. Komunikasi pemerintah dengan Ormas yang terkait pun perlu dilakukan secara intensif sehingga terjadi pemahaman yang sama pada kedua belah pihak.

Namun demikian tetap permerintah harus konsisten dengan perundang-undangan yang ada. Dan harus tetap tegas di dalam melakukan pembinaan Ormas. Bagi Ormas yang menyalahi peraturan perundangan yang berlaku seyogyanya “punishment” yang setimpal dapat di laksanakan dengan tegas sesuai dengan porsi kesalahan Ormas terkait.

Ormas Di Era Demokrasi

Banyak yang mulai menyebut bahwa demokrasi akan kehilangan pesona. Upaya meruntuhkan demokrasi juga terjadi dengan kemunculan kelompok-kelompok teroris dan fundamentalis, serta gerakan-gerakan politik yang mendefinisikan suara publik dengan sekehendak hati. Kelompok-kelompok itu berasal dari gerakan-gerakan internasional yang bertarung di tingkat nasional, tetapi juga dipicu oleh orang-orang yang pernah menjalankan pemerintahan dan kecewa dengan pemerintahan yang sedang berkuasa.

Masa depan demokrasi akan sangat ditentukan oleh keberadaan dan kinerja pranata-pranata demokrasi formal, seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Demokrasi juga membutuhkan kaum demokrat. Dalam level yang luas, demokrasi membutuhkan partai-partai politik moderen dan profesional yang sekarang masih terlihat gagu dan hanya memikirkan diri sendiri. Mulai masuknya unsur-unsur perseorangan dalam proses kontestasi demokrasi juga memungkinkan keberadaan alternatif-alternatif kepemimpinan yang tidak hanya berasal dari partai-partai politik. Inilah kesempatan bagi Ormas-ormas untuk berperan lebih maksimal dalam melakukan pembinaan dan menciptakan tokoh-tokoh baru.

Selain daripada itu, keabsahan pengendalian pemerintahan kurang mendapatkan gangguan berarti.  Kalaupun terdapat usaha untuk mendukung atau mengoposisi pemerintah, kekuatan itu muncul dari kalangan partai-partai politik. Ormas-ormas pun seyogyanya dapat memainkan peranan penting dalam hal ini.

Hanya saja, dari sisi kinerja, demokrasi bukan hanya sekadar melegitimasikan kekuasaan secara konstitusional, tetapi digerakkan untuk mencapai tujuan-tujuan bernegara. Dalam banyak aspek, krisis representasi terjadi, ketika aktor-aktor dan lembaga-lembaga demokrasi tidak lagi bekerja demi publik, melainkan untuk kepentingan diri sendiri. Untuk itu, diperlukan ikatan yang lebih luas antara publik dengan partai-partai politik, misalnya, dalam soal penjaringan calon-calon anggota legislatif dan eksekutif yang diajukan. Memang pada sebagian besar negara-negara demokrasi, tidak ada undang-undang yang mengikat partai politik tentang bagaimana memilih kandidatnya dan setiap partai politik memiliki kebebasan untuk membuat peraturan sendiri. Metode penjaringan yang dipilih mengarah kepada inklusifitas dan ekslusifitas. Akan tetapi, demi kepentingan yang lebih luas, publik bisa melibatkan diri dengan cara mengajukan para kandidat yang dijamin lewat undang-undang. Dengan demikian prospek penjaringan kader melalui Ormas-ormas pun dapat menjadi suatu saluran alternatif, yang dapat mengantisipasi kekakuan ideologis dan positioning partai politik.

Dengan pelbagai capaian yang sudah diraih oleh Indonesia, terasa sekali ada kebutuhan untuk menjaga agar dinamika demokrasi berlangsung stabil. Unsur-unsur negatif dalam perkembangan demokrasi layak dicegah, misalnya kembalinya militer ke kancah politik, ketertutupan informasi di kalangan penyelenggara negara, pengebirian pers, pengadilan atas pikiran, pelarangan buku, dan ribuan negative list lainnya yang bisa ditemukan dalam setiap catatan sejarah bangsa ini. Sistem politik, pemerintahan dan pranata demokrasi harus menjamin agar daftar negatif itu tidak kembali dalam bentuk tertutup atau terbuka, tidak sengaja, apalagi kalau disengaja.

Bersamaan dengan itu, cita-cita negara kesejahteraan layak terus-menerus diusung dan dicarikan padanannya oleh setiap penyelenggara negara dan warga negara. Tanpa peningkatan kesejahteraan, baik materiil, maupun spirituil, maka demokrasi saja tidak akan cukup.

Demokrasi tidak akan berjalan tanpa makan. Kekurangan selama era Soekarno adalah perkembangan pesat demokrasi yang kemudian juga memicu kekecewaan, sementara pada masa Soeharto adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai oleh demokrasi. Tugas kita sekarang adalah menggabungkan sisi-sisi positif pada masing-masing era itu, yakni menumbuhkan demokrasi dan memaksimalkan pembangunan, sembari menghilangkan kemiskinan dan juga bentuk-bentuk diktatorisme yang tanpa penghormatan atas hak-hak asasi manusia.

Isyu-isyu seperti diatas seyogyanya dapat menjadi suatu faktor perjuangan kontemporer untuk pembentukan Ormas-ormas baru modern. Atau dalam hal Ormas-ormas yang sudah lama terbentuk dapat melakukan reposisi yang lebih relevan sesuai dengan kondisi perkembangan zaman seperti dijelaskan di atas.

Peranan Pemuda Dalam Ormas

Rata-rata lima puluh persen (50%) penduduk dunia adalah di bawah umur 20 tahun (Kaum Muda). Di Indonesia bahkan enam puluh persen (60%) dari jumlah penduduk adalah di bawah umur 20 tahun.

Pemuda dan Kepemudaan atau Angkatan Muda adalah sebuah entitas spirit yang maha dasyat kekuatannya, sejarah berbagai bangsa di dunia ini telah membuktikan, bahwa pergerakan kaum muda-lah yang mengawali setiap perjuangan kemerdekaan, setiap perubahan serta setiap pembangunan arah sebuah bangsa tersebut.

Mengapa demikian? Karena pemudalah yang memiliki sifat patriotik sejati; pemilik idealisme, gelora, daya tahan dan daya juang yang kuat (fisik maupun mental). Generasi muda penuh semangat, mempunyai kekuatan energi penuh dengan sifat kreatif, kritis dan dinamis serta kepekaan yang tinggi pada masalah sosial secara murni. Demikianlah kodratnya sehingga pemuda mampu menjadi pelopor dan pemimpin.

Sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Sejarah panjang bangsa Indonesia, di mana pemuda menjadi aktor dari setiap langkah perjalanan bangsa Indonesia. Kodrat Pemuda adalah melakukan peran dan tanggung jawab dalam komitmennya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta sikap, komitmen, dan keberpihakan kepada masyarakat. Untuk itulah gelar yang diberikan dan yang disandang pemuda sebagai agen perubahan (Agent of Change) dan agen kontrol sosial (Agent of Social Control).

Untuk menciptakan model pemuda yang dimaksud diatas maka ormas adalah sarana dan arena belajar, bereksperimen dan berlatih menjadi Agent of Change dan Agent of Social Control.
Sehingga dengan demikian, sangat dihimbau bagi para pemuda di seluruh Indonesia untuk aktif dan mau terlibat untuk dibina di Organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang ada termasuk organisasi-organisasi kepemudaan, organisasi-organisasi profesi, organisasi-organisasi fungsional merupakan wadah yang tepat untuk membangun kepeloporan dan kepemimpinan seperti yang diharapkan itu.

Keterlibatan dan peran pemuda dalam Ormas jika didasari semangat militansi, voluntarisme dan patriotisme yang diharapkan, dapat mengubah citra Ormas, untuk menjadi kekuatan perubahan dan kontrol sosial yang luar biasa. Sehingga sejarah di mana evolusi nasionalisme Indonesia yang pada zaman pra kemerdekaan akan kembali terjadi di dalam konteks yang lebih kontemporer.

Catatan-catatan

Tidak perlu dipungkiri lagi bahwa telah terjadi gejala peyoratif pada kata Ormas atau secara lengkap Organisasi Massa. Peran Ormas di zaman Pra Kemerdekaan yang gigih membesarkan bayi Nasionalisme Indonesia, kini telah tercoreng dengan perilaku Ormas-ormas yang tidak bertanggung jawab yang hanya semata memikirkan kepentingan golongan tanpa memikirkan dampaknya dalam tatanan kehidupan berbangsa.

Dengan berkembangnya paradigma-paradigma baru dalam pembangunan nasional di segala bidang, seyogyanya Ormas-ormas dapat berpastisipasi dalam membangun Manusia Indonesia yang dapat berperan secara optimal yang mampu dan tangguh menghadapi berbagai tantangan sesuasi dengan paradima-paradigma baru yang tengah berkembang.

Dalam kehidupan bernegara, Ormas-ormas pun dapat berperan menjadi pionir untuk mengisi kekosongan di ruang-ruang publik yang tidak atau belum diisi oleh Partai Politik.

Keterlibatan Pemuda didalam kehidupan Ormas menjadi sangat esensial dalam agenda menjadikan Ormas sebagai “driving force” dari perubahan dan kontrol sosial.

Di dalam konteks untuk melawan gejala peyoratif di atas terasa perlu suatu Faktor perjuangan kontemporer untuk pembentukan Ormas-ormas baru modern. Ormas-ormas yang sudah lama terbentuk pun dapat melakukan reposisi yang lebih relevan sesuai dengan kondisi perkembangan zaman.

One comment

Tinggalkan Balasan