Zona Perang: ACFTA!
Oleh Poempida Hidayatulloh
ASEAN+China Free Trade Agreement (ACFTA) telah membuat suatu era ekonomi baru bagi Republik Indonesia. Lebih banyak yang Kontra dalam menyikapi hal ini daripada yang mendukung dan setuju. Dan sebagian besar yang kontra selalu mengangkat 1 kalimat pertanyaan: “Apakah Indonesia siap menghadapi hal ini?”
Makna nasionalisme yang cukup dalam sangat tersirat dalam pertanyaan tersebut. Dengan kata lain, bagi setiap insan yang masih mengalir darah kebangsaannya dia tidak rela Bangsanya menjadi Bangsa pecundang. Paling tidak jika kita harus kalah pun harus dengan persiapan dan pertarungan yang ketat. Tentunya jika skenarionya demikian, pertarungan tadi menjadi puputan, lebih baik mati dari pada menjadi pecundang.
ACFTA ini adalah pertaruhan baru kita sebagai Bangsa. Bisa jadi menjadi cikal akan bangkit suatu semangat nasionalisme baru. Semangat seperti ini pun bisa membuahkan jenis Chauvinisme baru mengingat kesenjangan sosial yang terpancar dari indeks rasio gini yang belum juga berhasil diminimalisir.
ACFTA pun dapat membawa dampak konflik horisontal yang berkepanjangan jika kemudian memberikan peluang perbedaan ekonomi yang berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain. Pada dasarnya Ekonomi akan bermain di celah yang memberikan kesempatan lebih. Untuk daerah sulit dan beresiko tinggi tidak akan menjadi target investasi yang dilirik. Apalagi jadi arena perdagangan.
Belum lagi masalah migrasi penduduk yang harus berimbang. Tata laksana pencatatan kependudukan yang masih carut marut yang terpancar dari kacaunya daftar pemilih tetap (dpt) pada pemilu 2009 yang lalu, belum juga terlihat suatu pendekatan penyelesaian yang kongkrit.
Pemerintah sangat yakin dapat mengantisipasi PHK besar-besaran. Untuk kelas korporasi dan industri besar ini mungkin dapat ditanggulangi. Namun bagaimana nasib para UKM yang harus mengadakan efisiensi juga. Akan ada ratusan ribu UKM non formal yang harus melakukan efisiensi (PHK skala kecil) yang tidak akan tercatat dan sulit tercatat secara statistik. Jika pemerintah serius menjalankan semangat “Pro Poor, Pro Job dan Pro Growth”, maka harus ada kebijakan yang berpihak kepada rakyat terkonsepkan dengan baik.
Jilka kita mau bahas lebih jauh akan panjang sekali daftar kekhawatiran mengenai posisi RI di ACFTA ini.
Bagi saya, ACFTA ini adalah perang cara moderen. Sekarang kita sudah terlanjur masuk di dalam arena ini. Kalau dahulu kita bisa kalahkan Belanda dengan bambu runcing, saya masih yakin kita bisa gempur manifestasi kapitalisme ini dengan Rupiah Runcing. Kita pertajam mata uang kita dengan banyak memakai produk lokal. Mari kita ciptakan gerakan moral mendukung ekonomi rakyat lokal. Perkuat pasar lokal untuk produk lokal. Berani bayar lebih mahal untuk produk lokal. Dan terakhir dan tidak kalah pentingnya, tolak segala produk asing yang sudah ada dan diproduksi di dalam negeri.
Sekali lagi ini adalah perang. Jangan termakan dengan pola divide et impera gaya baru, cultur stelsel masa kini dan kerja rodi ala moderen.
Perang hanya dapat dimenangkan dengan kebersamaan dan persatuan. Merdeka Bung!