Presiden Harus Mudah “Di- IMPEACH” (MAKZUL)!

MK mengabulkan permohonan pembatalan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, dan DPRD. Dasarnya dikarenakan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 7B Ayat (3) UUD 1945. Hal ini berkenaan dengan mekanisme jumlah usulan minimal yang sah bagi DPR untuk menggunakan hak menyatakan pendapat.

Lebih jauh MK juga menimbang bahwa dengan tidak berlakunya ketentuan Pasal 184 Ayat (4) UU No. 27 Th. 2009 ini, maka ketentuan persyaratan pengambilan keputusan mengenai penggunaan hak menyatakan pendapat berlaku ketentuan mayoritas sederhana. Hal ini dapat diartikan bahwa cukup dengan jumlah 50 persen plus 1 orang saja, DPR dapat mengeksekusi hak menyatakan pendapat yang konsekuensi lebih lanjutnya dapat berbentuk pemakzulan kepala negara dan/atau wakilnya.

Keputusan MK ini mengangkat Isyu spekulatif yang memunculkan wacana adanya agenda politik “pemakzulan Presiden/Wapres” dari segenap Parpol baik yang berada di dalam maupun di luar koalisi. Dikarenakan proses menuju pemakzulan di atas terlihat semakin mudah.

Terlepas dari dinamika permainan politik Parpol-parpol di atas, penulis bermaksud untuk sedikit membahas mengapa proses menuju pemakzulan seorang kepala negara dan/atau wakilnya perlu dipermudah.

Pada dasarnya konsep kekuasaan yang abstrak itu perlu sekali dihayati oleh semua penguasa dilapisan mana pun. Adalah suatu kesalahan besar dari si Penguasa jika kekuasaan yang dimilikinya adalah sesuatu yang berupa kongkrit. Secara hakiki, tidak ada kekuasaan yang Riil dan abadi kecuali Kekuasaan-Nya.

Oleh karena itu, dalam suatu negara demokrasi, untuk menciptakan suatu kekuasaan yang “balance”, sangatlah diperlukan kemudahan proses peninjauan performa si penguasa. Secara “ultimate” nya inilah yang disebut “pemakzulan/impeachment”. Jika seorang penguasa senantiasa dapat dimakzulkan berdasarkan tolok ukur performa yang masuk akal, maka si Penguasa (pemerintah) akan selalu memaksimalkan kinerja dan fokus dalam melaksanakan program-program untuk pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditargetkan. Proses penyelesaian permasalahan pun akan dituntut untuk menjadi lebih cepat lagi. Dengan demikian, tidak akan ada lagi suatu pemerintahan yang “santai”, apalagi yang tidak memikirkan nasib rakyat dan keadaan situasi negara.

Harapan lebih jauh tentunya akan menuju suatu pemerintahan yang sangat bertanggung jawab. Penggunaan uang Rakyat harus kemudian dapat dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya dan difokuskan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan masyarakat. Tidak akan ada lagi belanja pemerintahan yang semata-mata dimanfaatkan untuk pencitraan semata.

Jika Cak Nur selalu berbicara tentang “Primus Inter Pares” dan orang Minang berbicara tentang “Pemimpin yang ditinggikan seranting dan dimajukan selangkah“, maka perlu adanya mekanisme “rewards and punishment“. Akan sangat rugi bagi Bangsa sebesar Bangsa Indonesia untuk dapat memproses suatu mekanisme “punishment” bagi para penguasa yang lalai hanya pada saat Pemilu 5 tahun sekali. Waktu 5 tahun itu tidak sebentar. Kalau di eropa perang dunia 2 selama 5 tahun dapat mengubah keadaan di dunia. Seyogyanya Bangsa Indonesia tidak lagi menyia-nyiakan waktu dan berdiam diri saja. Sudah saatnya Bangsa ini bergerak secara progresif untuk menjadi suatu Bangsa yang tangguh dan mandiri. Merdeka!!!

One comment

Tinggalkan Balasan