Negara Gagal dan Gagal Bernegara

Bulan lalu, pada saat peringatan HUT PII (Persatuan Insinyur Indonesia), Ketua UKP4, Bapak Kuntoro Mangkusubroto, menjadi pembuka acara tersebut dan memberikan sambutan yang sangat inspiratif bagi para Insinyur se-Indonesia.

Sebagai salah seorang pengurus pusat PII, penulis hadir di acara tersebut.

Ada yang sangat menarik dari sambutan Pak Kuntoro di acara PII tadi. Beliau sempat menyampaikan rasa syukur bahwa telah terjadi Proses “Decoupling Politics-Economy”. Dengan kata lain, perekenomian tetap berjalan normal walaupun ditengah-tengah hingar-bingar politik yang terjadi.

Beberapa saat setelah sambutan Pak Kuntoro selesai, Penulis tergelitik untuk segera menyampaikan kepada Pak Kuntoro melalui pesan BBM (Blackberry Messenger), bahwa gejala “Decoupling Politics-Economy” yang terjadi pun perlu dianalisa lebih dalam lagi. Jangan-jangan gejala yang sebenarnya terjadi adalah diakibatkan apatisme masyarakat kepada Pemerintah yang berkuasa. Sehingga perekonomian yang berjalan merupakan suatu proses yang memang didorong oleh kebutuhan masyarakat tanpa mempedulikan sepak terjang pemerintah.

Dengan bijaknya, Pak Kuntoro menjawab melalui pesan BBM, “You are absolutely, right!”

Masuk di bulan Ramadhan kali ini, di hari kedua berpuasa, Penulis berkesempatan berbuka bersama dengan kawan-kawan pengusahanya. Komentar para pengusaha ini, mereka menyambut gembira adanya huru-hara politik yang tengah terjadi belakangan ini. Penulis sempat terperanjat dengan pendapat demikian. Ternyata yang dimaksud adalah dengan hingar-bingar politik, fokus dari Penguasa menjadi lebih politis, sehingga Pengusaha malah menemukan kebebasan dalam melakukan kegiatan ekonominya, tanpa di-“recoki” oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang kerap tidak ramah bagi dunia usaha.

Dalam situasi seperti apakah negara kita tercinta ini?

Terminologi “Negara Gagal” banyak digunakan oleh pengamat politik dan jurnalis untuk menjelaskan suatu persepsi negara yang gagal memenuhi kondisi prinsip dan tanggung jawab sebagai negara yang berdaulat. Secara lebih rinci, dapat didefinisikan dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Hilangnya kendali teritorial, atau tejadinya monopoli penggunaan aparatur negara yang syah;

2. Terjadinya erosi legitimasi otoritas untuk menciptakan keputusan kolektif;

3. Ketidakmampuan menyediakan pelayanan umum;

4. Ketidakmampuan berinteraksi dengan dunia internasional secara baik, sehingga terjadi suatu kerja sama internasional yang tidak berimbang dan adil;

5. Terjadi kegagalan di bidang ekonomi, sosial dan politik secara umum.

6. Karakteristik yang paling siginifikan dari sebuah negara gagal juga termasuk lemahnya pemerintah pusat atau pemerintah menjadi tidak efektif sehingga hanya memiliki sedikit kendali secara teritorial;

7. Merebaknya Korupsi dan Kejahatan Umum;

8. Terjadinya migrasi penduduk (dalam bentuk pengungsian) dalam jumlah besar secara sukarela;

9. Undang-undang produk parlemen hanya sebagai dokumen tertulis saja, tidak terimplementasikan;

10. Keluarga dan Orang dekat Pemimpin Negara relatif lebih berkuasa dari Pemimpin Negara itu sendiri.

11. Pemimpin negara tidak mendapatkan konsensus dukungan penuh dari kabinet yang syah. Masing-masing anggota kabinet berjalan sendiri-sendiri tanpa suatu koordinasi bahkan cenderung terjadi konflik kepentingan di antara mereka.

12. Hilangnya kepercayaan para pemuka agama dan tokoh masyarakat kepada pemerintah.

13. Tidak adanya figur yang bisa diandalkan secara mumpuni jika Pemimpin negara mendadak berhalangan tetap.

14. Penolakan pembayaran pajak oleh masyarakat.

15. Gagalnya penegakan hukum.

Apakah Indonesia sekarang ini sudah memenuhi kondisi seperti poin-poin di atas? Memang belum semuanya, walaupun indikasi mengarah kepada situasi dan kondisi tersebut di atas sudah mulai terlihat.

Semoga saja pemerintah yang berkuasa membaca tulisan ini dan segera mengambil tindakan-tindakan yang tepat sehingga terbentuknya suatu negara gagal dapat dihindari, dan Bangsa Indonesia pun tidak pernah mempunyai sejarah gagal dalam bernegara.

4 comments

Tinggalkan Balasan