Oleh Poempida Hidayatulloh
Kecurangan Pemilu 2009
Pemilu 2009 memang diwarnai oleh berbagai kejutan. Salah satu kejutan yang luar biasa adalah dengan menangnya Partai Demokrat secara signifikan dengan perolehan suara di kisaran 20% mengalahkan dua partai besar lainnya, Partai Golkar dan PDI-Perjuangan yang keduanya memperoleh suara di kisaran 14%. Fenomena kemenangan Partai Demokrat ini memang banyak menimbulkan kontroversi yang pada akhirnya bermuara pada dugaan terjadinya kecurangan pada Pemilu 2009 yang lalu.
Angka perolehan Partai Demokrat yang 20% pun secara sains didukung oleh hasil-hasil survei beberapa lembaga survei beberapa waktu sebelum pemilu dilaksanakan yang memang menunjukkan persamaan dengan angka dikisaran 20% tadi. Jika memang demikian adanya dapatkah disimpulkan bahwa hasil akhir pemilu 2009 tadi merupakan sesuatu yang benar-benar absah dan “legitimate”? Lalu bagaimana dengan dugaan kecurangan yang terjadi? Apakah itu merupakan suatu ungkapan kekesalan saja dari Partai-Partai yang kalah? Apakah ada bukti-bukti lebih lanjut yang belum terungkap tentang adanya kecurangan? Jika memang terbukti ada kecurangan, apa yang akan terjadi dengan Negara kita ini?
Memang sangat tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara lugas dan gamblang. Hal ini disebabkan oleh pilah-pilah “puzzle” nya sebagian belum terkumpul, sehingga belum terlihat bentuknya secara kongkrit. Pilah-pilah tersebut masih berceceran dan belum ada benang merah yang jelas untuk dapat diambilkan kesimpulan.
Sebagai seorang peneliti, Penulis merasa berhak untuk melakukan hipotesa tentang masalah ini. Hipotesa yang dilakukan memang spekulatif. Namun hipotesa awal ini dilakukan berdasarkan suatu interpolasi logis dari data-data terbatas yang sudah terkumpul. Penulis pun berharap dengan hipotesa awal ini dimunculkan secara publik, dan dapat dimengerti secara logis oleh publik, akan menyadarkan publik untuk mencari dan mengumpulkan data pendukung yang lebih lengkap lagi sehingga hipotesa ini akan kemudian berkembang menuju kepada suatu kesimpulan yang absah dan “legitimate”.
Katakan saja hipotesa yang dibuat oleh penulis adalah memang terjadi kecurangan di Pemilu 2009. Tentu penulis akan banyak mendapatkan tantangan-tantangan untuk dapat membuktikannya. Namun pada tulisan kali ini Penulis hanya kan membahas latar belakang dan bagaimana proses terjadinya hipotesa tersebut.
Data Daftar Pemilih Tetap (DPT) 2009 memang tidak bisa diragukan lagi dapat dikatakan sebagai data yang amburadul. Banyaknya data pemilih ganda dan “obsolete” (tidak terkini) membuat banyak pertanyaan tentang keabsahan pelaksanaan Pemilu 2009. DPT yang amburadul jelas-jelas dipakai dalam penyebaran surat suara dari KPU pusat ke daerah. Selain daripada itu sangatlah terlihat dengan jelas keengganan dari pihak KPU untuk melakukan pembaharuan, perbaikan dan pengkinian data DPT tersebut. Salah satu alasannya adalah tidak adanya anggaran yang mencukupi dalam hal melaksanakan pekerjaan tersebut. Jika memang demikian adanya, seyogyanya KPU dapat berupaya meminta anggaran tambahan kepada parlemen dan pengunduran waktu pemilu. Penulis menilai, jika upaya ini dilakukan oleh KPU dengan alasan-alasan yang logis dan berkaitan dengan legitimasi hasil pemilu, dukungan dari parlemen pun tidak akan sulit. Yang mengherankan adalah mengapa KPU tidak melakukan ini?
Dengan adanya data-data ganda, sudah dipastikan terjadi pengiriman surat suara yang berlebihan ke daerah. Jumlah surat suara lebih ini, sampai saat ini tidak pernah ada rekap maupun pertanggungjawaban yang resmi dan transparan dari KPU. Juga tidak pernah ada audit independen yang memantau masalah ini secara mendalam. KPU malah terkesan untuk menutup informasi ini serapat mungkin. Ibarat kotak pandora, masalah ini dapat menjadi efek domino yang luar biasa jika terungkap.
Hasil perhitungan rekap suara Pemilu 2009 diproses dengan sangat lama dan berjenjang. Proses ini melibatkan pejabat KPU di tingkat kecamatan. Di mana sarat dengan dugaan intervensi dari para camat yang dengan mudah dapat dikoordinasikan oleh penguasa incumbent melalui Kementrian dalam negeri.
Banyaknya perselisihan perhitungan suara di Mahkamah Konstitusi pun turut menjadi bukti otentik tentang tidak terselenggaranya Pemilu 2009 secara baik dan benar.
Belakangan ini pun muncul kasus kursi haram dan pemalsuan surat keputusan KPU yang melibatkan oknum KPU pusat, Andi Nurpati. Hal ini pun sangat memperkuat dugaan bahwa adanya permainan suara di KPU. Selain itu bergabungnya Andi Nurpati ke Partai Demokrat juga memperkuat dugaan bahwa KPU tidak menjadi wasit yang “fair” di 2009.
Jika saja Mantan Ketua KPK Antasari Azhar tidak terlibat kasus yang menjerat dirinya, Ia sudah berencana untuk menyidik dugaan adanya manipulasi data di sistem komputer KPU, khususnya dalam pendataan suara Pemilu 2009. Apakah kasus Antasari ini juga suatu konspirasi untuk upaya menutup terungkapnya kecurangan di Pemilu 2009? Ini memang masih menjadi suatu misteri besar. Namun penulis sangatlah yakin bahwa cepat atau lambat semua misteri ini akan terungkap.
Jika memang terjadi kecurangan dan dalam hal ini Oknum-oknum di KPU terlibat di dalam prosesnya, berarti semua oknum yang terlibat tidak hanya telah melakukan kejahatan yang berupa pidana biasa. Namun, para oknum ini telah terlibat suatu kejahatan konstitusional, dan dapat menghadapi hukuman yang sangat berat setara dengan “Makar”.
eKTP
Apa pun yang terjadi di 2009 adalah cerminan Demokrasi Indonesia yang jelas tidak setara. Legitimasi hasil Pemilu tersebut jelas menjadi tanda tanya besar. Fakta tersebut harus menjadikan cemeti bagi semua Insan Indonesia untuk berintrospeksi dan memperbaiki diri agar janganlah kejadian semacam itu terulang lagi.
Setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan, yang mengikat secara konsitusional, bahwa semua pemilik KTP berhak menjadi Pemilih di TPS manapun pada saat yang bersangkutan berada di saat Pemilu berlangsung, kemudian menjadikan proyek eKTP yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri belakangan ini suatu sorotan publik yang luar biasa. Proyek penyelenggaraan eKTP ini jelas akan menentukan nasib Bangsa Indonesia ke depan melalui Pemilu 2014 mendatang.
Penulis mempunyai keyakinan bahwa suatu proses pemilu yang buruk akan menghasilkan suatu kelompok pemimpin yang juga buruk. Oleh karena itu upaya perbaikan sistem pelaksanaan Pemilu ke depan memang “WAJIB” direvisi dan diperbaiki, bukan sekedar alat untuk sekelompok tertentu untuk berkuasa atau mempertahankan kekuasaan.
Penulis sempat berdialog dengan Almarhum Burhanudin Napitupulu, yang sempat menjadi Ketua Komisi 2 DPR-RI, ketika anggaran proyek eKTP ini tengah digodok di Komisi tersebut. Penulis menyampaikan kepada Almarhum, bahwa seyogyanya dalam pelaksanaan proyek eKTP ini dipecah menjadi 3 kategori pelaksana, yang ketiganya mempunyai peran berbeda, tetapi memiliki tanggung jawab dan target parameter yang sama. Penyelenggaraan eKTP dapat dipecah menjadi tiga pemenang tender: 1. Pengadaan Barang, 2. Pelatihan (Training), dan 3. Pelaksana Kegiatan (Implementor). Dengan dibagi 3 pelaksana seperti di atas, potensi monopoli penguasaan data pemilih tidak akan terjadi sepertinya halnya dengan kasus sistem komputerisasi pengumpulan data di KPU pada saat Pemilu 2009. Karena ketiga pihak di atas akan saling mengawasi suksesnya keberlangsungan penyelenggaraan eKTP tersebut. Pemenang Pengadaan Barang tidak akan main-main, karena Pemenang Training dan Implementor akan melakukan pemeriksaan tentang barang-barang yang disuplai dan keduanya harus yakin bahwa spesifikasi barang harus sesuai dengan kriteria tender yang ditetapkan. Jika terjadi manipulasi spesifikasi, maka proses Training dan Implementasi jelas akan terganggu. Pihak Pemenang training pun akan selalu diawasi oleh pihak pemenang pengadaan barang tadi. Karena jika training dilaksanakan dengan asal-asalan maka dapat merusak piranti-piranti yang disuplai oleh mereka. Pihak Implementor pun akan selelu berkoordinasi pihak Training untuk mencapai terjadinya kemulusan proses implementasi eKTP. Training pun akan memastikan Implementasi berjalan dengan baik karena suksesnya pihak Training berkenaan dengan suksesnya pihak implementasi. Dan demikian seterusnya. Tanggung jawab dan keterkaitan target seperti ini dapat meminimalisasi terjadinya manipulasi, malpraktek dan kesalahan-kesalahan berbasis manusia (human error) yang sangat rentan terjadi dalam implementasi proyek Teknologi Informasi.
Yang menimbulkan keheranan dari Penulis adalah, pasca sepeninggal Almarhum Burhanudin Napitupulu, pihak Kemendagri melaksanakan proyek eKTP dengan memberikan proyek tersebut kepada 1 pemenang saja. Ini pun melibatkan anggaran yang luar biasa besar. Tidaklah heran jika publik memberi sorotan yang signifikan dan mencurigai adanya korupsi dalam proyek tersebut.
Keheranan kedua yang didapat oleh penulis, mengapa proyek sebesar itu tidak melibatkan para ahli teknologi informasi domestik yang sebenarnya sudah diakui kepiawaiaannya. Di mana keberpihakan pemerintah dalam masalah konten produk lokal?
Apa pun yang sekarang berlangsung jelas menjadi Tanggung Jawab kawan baik saya, Bapak Gawaman Fauzi, Menteri Dalam Negeri. Potensi kecurangan Pemilu 2014 berada di depan mata kita semua. Karena si pemenang proyek eKTP ini adalah pemegang monopoli akses kepada data pemilih dikemudian hari. Penguasaan data yang monopolistik seperti itu sangat rentan untuk terjadinya manipulasi dkemudian hari.
Sebagai seorang kawan, saya bermaksud mengingatkan Gamawan akan sensitifitas hal ini. Semoga saja Beliau membaca tulisan ini dan dapat mengambil tindakan-tindakan lebih lanjut untuk menjaga transparansi, legitimasi, kemutakhiran dan keakuratan data di Pemilu mendatang.