Merancang Perlindungan Untuk PRT

Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah istilah terkini non peyoratif untuk para pekerja domestik dalam ruang lingkup rumah tangga yang membantu para pemberi kerja (majikan) dalam kehidupan keseharian yang bertujuan non profit.
Kurang lebih demikian itulah definisi PRT yang paling terkini dan relevan dalam konteks perancangan Undang Undang Perlindungan PRT.

PRT semakin menjadi suatu elemen yang cukup signifikan dalam menciptakan kelancaran kehidupan individu-individu terutama di daerah urban dalam kehidupan domestik rumah tangganya.

Siginifikansi elemen yang satu ini tidak dapat disepelekan dalam kehidupan berbangsa, mengingat ditengarai terdapat kurang lebih 11 juta lebih Warga Negara Indonesia yang mempunyai profesi sebagai PRT (yang terdata). Sudahlah sangat layak jika kemudian PRT mendapatkan tempat yang khusus dalam konteks perlindungan hukum yang melingkupi peran, tanggung jawab, hak dan kewajiban profesi tersebut.

Kompleksitas permasalahan yang melekat dalam profesi PRT secara umum tidak berbeda dengan profesi pekerja dan buruh lainnya. Namun kekhususan dalam konteks profesi PRT adalah basis elemen pemberi kerja (majikan) yang berupa individu, bukan kelompok berbadan hukum, dan ruang lingkup kerja yang merambah sektor privasi si pemberi kerja (rumah tangga).

PRT jelas mempunyai akses yang langsung pada informasi privasi para pemberi kerja sebagai akibat interaksi pribadi ruang lingkup kerjanya.

Keamanan domestik rumah tangga pun seringkali bertumpu pada integritas dan tanggung jawab PRT.

Namun demikian tidak pula sedikit berbagai kasus pelecehan dan penindasan PRT.

Sebagai profesi yang banyak diperankan oleh kaum marginal, perlindungan bagi PRT secara khusus harus ditata berdasarkan pertimbangan HAM, posisi PRT dalam ranah hukum dan posisi PRT sebagai WNI di mata konstitusi Republik Indonesia.

Proses Perancangan UU PRT ini masih menyisakan sedikit dilematika dalam beberapa isyu, yaitu:
1. Basis mekanisme pengupahan yang adil dan layak yang sangat tergantung dari parameter sosial ekonomi demografis Indonesia yang tidak dapat disamaratakan di seluruh daerah di Indonesia.
2. Mekanisme pengawasan dari pembuat kebijakan, mengingat wilayah Republik Indonesia yang sangat luas dan terpencar dalam ribuan pulau-pulau.
3. Formalisasi profesi PRT yang membutuhkan standar kompetisi dan pelatihan yang mumpuni sehingga memenuhi syarat minimal untuk pemenuhan peran, kewajiban dan tanggung jawab PRT yang secara simultan berkaitan dengan hak dan perlindungan profesi PRT tersebut.
4. Proses hukum dalam hal terjadinya persengketaan/perselisihan antara PRT dan pemberi kerja.
5. Jenjang karir profesi PRT.

Tantangan lainnya adalah kekhawatiran dari pihak-pihak yang berperan sebagai pemberi kerja (majikan), yang pada umumnya tidak menyukai berbagai formalitas administrasi sebagai konsukuensi implementasi UU PRT ini di kemudian hari.

Komisi IX DPR RI dalam konteks ini berkomitmen untuk dapat menjawab segala tantangan di atas untuk dapat merancang suatu Undang Undang yang cukup lenting berlandaskan Konsitusi Republik Indonesia.

Saya pribadi melihat suatu urgensi khusus dalam kaitan RUU PRT ini. Kumpulan referensi dan berbagai simulasi “sistem thinking” adalah basis yang saya gunakan untuk secara logis dan bertanggung jawab untuk terlibat secara aktif dalam perancangan UU PRT ini.

Tinggalkan Balasan