Dibutuhkan: Perlindungan TKI !

Sidang Paripurna DPR RI telah menetapkan Pansus RUU Perlindungan TKI di LN sebagai usaha perbaikan UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pembentukan Pansus RUU Perlindungan TKI ini menjadi salah satu komitmen terhadap upaya memberikan perlindungan sepenuhnya terhadap TKI. Sebagai tenaga kerja yang dilindungi hak-hak nya keberadaan mereka seringkali menjadi sapi perahan para oknum atau lembaga yang terlibat dalam proses penempatan TKI. Pasal 68 UU Nomor 39 tahun 2004 menjelaskan bahwa setiap penempatan wajib mengikutsertakan TKI untuk mengikuti program asuransi. Artinya bahwa pemerintah secara tegas meninginkan agar TKI terlindungi hak-hak nya melalui metode perasuransian.

Salah satu permasalahan yang seringkali tidak tersentuh oleh perhatian kita adalah pemberian perlindungan terhadap TKI melalui asuransi. Asuransi TKI ini diatur dalam Permen Nakertrans Nomor 7 Tahun 2010 yang sejatinya adalah upaya untuk melindungi kehidupan TKI sebelum penempatan, saat penempatan maupun setelah penempatan. Secara filosofis perlindungan terhadap TKI dapat dilakukan dengan berbagai cara. Metode asuransi adalah salah satu yang mudah dikenal dan dipahami oleh masyarakat, namun apakah pelaksanaannya benar-benar melindungi TKI, inilah yang harus menjadi fokus perhatian kita semua. Dalam Permen No 7 Tahun 2010 tersebut secara jelas menggambarkan bahwa apapun yang terjadi selama proses mereka menjadi TKI merupakan kewajiban pihak konsorsium dan pialang asuransi yang harus membayarkan klaim tuntutan.

Permasalahn muncul ketika TKI sangat sulit untuk mengajukan klaim walaupun sebenarnya mereka telah memenuhi persyaratan untuk klaim asuransi.

Bapepam LK sebagai lembaga yang memberikan lisensi maupun izin usaha terhadap perusahaan asuransi harus dilibatkan untuk mengatasi persoalan ini. Walaupun secara tidak langsung lembaga ini mengatur TKI namun fungsi mereka dapat menekan perusahaan-perusahaan asuransi nakal yang tidak memberikan hakikat perlindungan terhadap TKI. Bapepam LK melalui Biro Perasuransian harus melakukan pengawasan terhadap perusahaan asuransi yang tergabung dalam konsorsium asuransi dan pialang asuransi.  Bentuk pengawasan itu harus diimplementasikan oleh sebuah sistem yang mampu melindungi TKI agar dalam melakukan klaim dapat diselesaikan dengan cepat.

Terdapat bebrapa kebijakan asuransi yang sangat merugikan TKI antara lain mekanisme ex gratia yaitu kewajiban perusahaan untuk membayarkan klaim yang sebanarnya hal itu bukan merupakan tanggungan pihak perusahaan. Sebagai bentuk tanggung jawab pemberian klaim pihak, asuransi dapat tidak membayarkan sepenuhnya klaim tersebut kepada tertanggung. Artinya pihak konsorsium asuransi TKI bisa saja beralasan bahwa persyaratan yang diajukan oleh TKI tidak memenuhi syarat untuk pengajuan klaim. Lebih daripada itu hakikat dari perlindungan terhadap TKI kembali harus dipertanyakan melalui metode perasuransian ini.

Apakah praktek seperti ini menjadi hal yang lumrah dan wajar, penulis merasa ini mejadi modus yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan dengan mengorbankan hak-hak TKI.

Dalam UU Usaha Perasuransian Nomor 2 Tahun 1992 praktek ex gratia ini tidak diatur dan mekanismenya pun tidak disebutkan. Praktek-praktek yang tidak diatur dalam UU ini rentan terhadap penindasan terhadap TKI karena perusahaan asuransi dapat saja memberikan alasan bahwa tertanggung tidak memenuhi syarat pengajuan klaim sehingga tidak dapat dibayarkan penuh sesuai tanggungan.

Praktek ini menurut penulis sama dengan uang tutup mulut yang diberikan pihak asuransi kepada tertanggung agar tidak mengajukan keberatan dan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAK AZASI MANUSIA.

Sekali lagi penulis merasa miris dengan praktek ex gratia ini yang sama sekali tidak menggambarkan perlindungan terhadap TKI.

Selain daripada itu pialang asuransi dalam prakteknya mendapatkan fee sebesar 50% dari total yang dibayarkan oleh tertanggung. Aturan fee ini juga tidak diatur dalam pertauran menteri maupun UU sehingga mekanisme yang tidak jelas dan abu-abu ini sangat rentan merugikan TKI. Dengan premi yang dibayarkan 400 ribu rupian oleh TKI, setengahnya merupakan fee yang didapatkan oleh pialang asuransi. Artinya bahwa premi yang dibayarkan lebih banyak diperuntukkan untuk membayarkan fee pialang asuransi sedangkan dalam prkateknya pihak TKI seringkali dipersulit untuk mendapatkan klaim asuransi. Dapat dikatakan praktek ini juga merupakan pemerasan terhjadap TKI dan menghilangkan dimensi perlindungan yang menjadi fokus utama pemerintah.

Penulis berkeyakinan bahwa terdapat indikasi kementerian terkait maupun lembaga yang terkait dengan penempatan TKI telah mengetahui praktek ini. Sudah saatnya bagi pihak-pihak yang fokus terhadap permasalahan TKI untuk merevisi UU Penempatan dan Perlindungan TKI sehingga hakikat dari perlindungan tersebut benar-benar dilakukan oleh pemerintah.

Tinggalkan Balasan