KPK VS POLRI: Ketika Hukum Tidak Bisa Menjadi Panglima

Indonesia adalah negara hukum, dari sejak di bangku sekolah dasar penulis selalu diingatkan oleh para guru pengajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Melalui PMP inilah kita semua pada saat itu di-didik untuk percaya pada hukum, dan basis tatanan kenegaraan kita selalu berlandaskan hukum.
Namun belakangan ini, terjadi suatu gejala peyoratif yang sangat mengkhawatirkan akan makna kata “hukum” itu sendiri.
Hukum telah dibelah-belah oleh berbagai basis manipulasi, korupsi, opini dan pencitraan, yang kemudian membuat integritas penegakan hukum menjadi sangat lemah.
Juga semakin terbukti hukum tidak menyelesaikan masalah kebangsaan. Dalam berbagai aspek, aturan hukum malah mempertajam berbagai konflik dan sengketa. Apalagi jika hukum terintervensi oleh kekuatan modal yang korup.
Berbagai kasus seperti Mbok Minah, Prita, dan kini Omi, membuat jalur hukum pun nampak tidak manusiawi.
Sangat kontras dengan berbagai keringanan hukum yang diterima oleh para bandar dan pengedar narkoba.
Belum lagi kini perseteruan antara para penegak hukum, yang seharusnya memberantas korupsi, notabene KPK dan POLRI.
Masyarakat dipaksa untuk memihak dengan menggunakan jalur opini dan pencitraan.
Mau dibawa ke mana Negara ini?
Sebagai seorang yang optimis, penulis senantiasa percaya jika Indonesia akan berevolusi kepada suatu peradaban yang lebih baik.
Peradaban itu semestinya dibangun berbasis budaya yang baik.
Di berbagai forum, penulis kerap sekali mengumandangkan bahwa “Jadikan Budaya Sebagai Panglima”.
Upaya ini, tidak lebih tidak kurang untuk mengingatkan segenap penguasa, politisi, penegak hukum dan masyarakat akan pentingnya berperilaku berdasarkan budaya yang baik.
Lemahnya integritas budaya ini yang membuat sistem hukum tercabik-cabik.
Budaya yang baik jelas akan menjadi dasar suatu kekuatan yang luar biasa dalam membangun peradaban.
Nilai-nilai kemanusiaan, moral, toleransi, tepa-selira, tertib aturan, taat azas, empati, sopan santun, ramah-tamah, gotong-royong, dan saling menghormati keberadaan sesama adalah basis-basis budaya yang harus dikembalikan marwahnya dalam membangun peradaban Indonesia ke depan.

3 comments

  1. Masyarakat kita terlalu melodramatik – jd sangat mudah terhasut opini publik – makanya peran media yg bener sangat penting dlm menggiring masyarakat kepada kebenaran sejati – disayangkan media dimiliki para pemilik yg juga punya agenda politik – jd bias – kapan negeri ini punya pemimpin sejati? Kapan masyarakat boleh dicerdaskan dng berpikir kritis dan komprehensif dalam melihat masalah ? Peran kt semua kaum intelektual utk menyuarakannya – spt yg sudah anda jalankan – good luck bos…keep doing good things for the nation!

Tinggalkan Balasan