Sore ini, saya menghadiri Rapat Internal Komisi IX yang pada kali pertama membahas RUU Kesehatan Jiwa.
Seperti yang pernah saya lansir sebelumnya, berdasarkan statistik ada sekitar 750.000-an orang yang terganggu jiwanya mengalami pemasungan.
Melihat keberadaan seperti itu saya sepakat diperlukan suatu payung hukum yang melindungi para terpasung ini.
Dan nyatanya secara medis memang ada suatu prosedur pengobatan untuk penyembuhan mereka.
Saya pun pernah melansir bahwa sebagai amanat UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan diperlukan suatu Peraturan Pemerintah dalam konteks perlindungan pasien-pasien yang terganggu jiwanya dan terpasung ini. Yang sudah sampai 3 tahun ini pun tak kunjung tuntas.
Dalam rapat sore ini, suatu fenomena yang luar biasa, di mana gagasan saya untuk melakukan fungsi pengawasan DPR dan mengawal terbentuknya PP yang terkait dengan masalah Kesehatan Jiwa, tidak mendapat respon positif.
Anehnya semua anggota Fraksi Partai Demokrat lebih memilih untuk menindaklanjuti fungsi Legislasi DPR, yaitu dengan langsung membentuk RUU Kesehatan Jiwa. Dengan alasan bahwa ini sudah menjadi prioritas Prolegnas.
Tidak menjadi suatu masalah bagi saya jika Panja RUU Kesehatan Jiwa ini dijalankan, karena memang diperlukan suatu payung hukum dalam konteks ini.
Yang saya tidak habis pikir, Fraksi Demokrat yang secara seragam bersikukuh dengan dijalankan Panja RUU Kesehatan Jiwa ini memberikan dampak politis yang FATAL. Mereka telah melakukan “By Passing Regulation Process”, dan tidak memberikan ruang/kesempatan kepada Pemerintah untuk menindaklanjuti masalah kesehatan Jiwa dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Pemerintah sekarang ini dipimpin oleh Presiden SBY yang merupakan Pimpinan Tertinggi dari Partai Demokrat, bukan?
Mereka seakan lupa bahwa mereka adalah bagian dari kekuasaan yang ada sekarang.
Kesimpulan akhir dari saya, rekan-rekan saya dari Fraksi Demokrat di Komisi IX nampaknya sudah menganggap bahwa Pemerintahan di bawah pimpinan Presiden SBY telah gagal.