Kepatuhan seseorang kepada Konstitusi itu hanya dapat tercermin dari perilakunya. Bagi para penyelenggara negara, kepatuhan kepada Konstitusi itu adalah prasyarat untuknya dapat menjadi seorang negarawan. Negarawan berperilaku yang secara totalitas merupakan cerminan dari konstitusi yang berlaku.
Pasal 6A Ayat 2 UUD 45 Amandemen ke 4 mengatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”. Dari ayat tersebut jelas tersirat bahwa hubungan antara seorang Pemimpin Negara dengan Partai pengusungnya bersifat konstitusional. Artinya keberadaan seorang Pemimpin Negara itu tidak sekedar dalam konteks “Penugasan Partai” saja.
Maksud penulis mengangkat masalah ini, bahwa tidaklah mungkin seorang Pemimpin Negara kemudian meninggalkan Partai Pengusungnya. Jika itu terjadi maka secara konstitusional akan terjadi masalah yang berlawanan dengan semangat Pasal 6A ayat 2 UUD 45 Hasil Amandemen di atas.
Memang jika terjadi suatu pelanggaran terhadap konsitusi seorang Kepala Negara dapat dimakzulkan sesuai dengan berbagai UU yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Bagi seorang negarawan, dalam memimpin negara akan selalu berusaha untuk megakomodasi segala aspek yang berkaitan dengan kemaslahatan masyarakat dan tatanan politik yang ada. Karena suksesnya seorang Pemimpin dalam melaksanakan Pembangunan Nasional adalah berbasis pada stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, Kekisruhan politik yang berlebihan akan menyebabkan tidak stabilnya situasi dan kondisi nasional sehingga berdampak buruk dan menjadi kendala untuk tercapainya target-target Pembangunan Nasional yang diinginkan.
Poempida Hidayatulloh
Ketua Umum Organisasi Kesejahteraan Rakyat (Orkestra)
Reblogged this on listyahadi bebiluck.