PROBLEMATIKA UNDANG-UNDANG TAPERA

(by : Chazali H. Situmorang/Pemerhati Kebijakan Publik)
Pada tahun 2014 yang lalu, sewaktu saya masih menjabat sebagai Deputi Menko Kesra bidang Koordinasi Jaminan Sosial dan Perumahan Rakyat, saya mendapat tugas dari Pak Menko Kesra (Bapak Agung Laksono) sesuai dengan tupoksi saya, agar mengkoordinasi proses pembahasan RUU Tapera yang sudah bergulir di DPR pada saat akhir-akhir periode Presiden SBY.

Dikalangan Pemerintah, terjadi perbedaan yang tajam antara Kemenpera dan Kemenkeu terkait konsep dan model Tapera yang diinginkan Pemerintah. Bebeapa kali Pansus dan Panja RUU Tapera gagal melaksanakan rapat, karena pihak Pemerintah ( Menkeu ) tidak hadir. Ada mungkin dua kali dibahas di kantor Wapres, dan saya mengamati dalam rapat tersebut diantara para menteri sepertinya tidak ada masalah. Tetapi pada saat di follow-up pada level eselon I yang sering saya pmpin rapatnya, ceritanya berbeda. Perbedaan begitu tajam, dan ujungnya ya RUU Tapera di deponir  begitu saja sampai berakhirnya periode DPR dan Pemerintah 2009-2014.

Pada tahun 2016, RUU Tapera bangkit kembali dan kali ini lebih lancar, karena Kemenpera dibubarkan dan bergabung dengan KemenPUPR.Kemenkeu dan KemenPUPR  kompak  dan dengan Panja DPR juga kompak dan dalam waktu relatif tidak lama  lahirlah UU Tapera Nomor 4 tahun 2016, tanggal 24 Maret 2016, lebih kurang satu tahun yang lalu. UU tersebut ternyata meninggalkan sisa masalah yang terkesan kontroversial dan bertabrakn dengan UU lain yang terkait.

*Problematika Perumahan Rakyat*

Akumulasi kebutuhan  rumah saat ini sekitar *15 juta (backlog)* untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sedangkan kemampuan pemerintah  menyediakan rumah setiap tahun sekitar 200 sampaqi dengan 250 ribu unit, dari target 900 ribu sampai dengan 1 juta rumah.

Disisi lain untuk orang miskin dan sangat miskin ada sekitar 7,5 juta keluarga yang membutuhkan rumah layak huni.  Kemampuan pemerintah memberikan bantuan bahan bangunan rumah (BBR), juga sangat terbatas  yaitu sekitar membantu sebagai stimulans sekitar 250-300 ribu rumah. Belum lagi terkait dengan ketrsediaan lahan ( tanah) untuk rumah yang semakin sulit dan mahal.

Saat ini ada 2 Undang-Undang yang berkaitan dengan perumahan, yaitu UU *Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan  Kawasan  Pemukinan, dan UU Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun*, serta *PP 88 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman*, dan *PP 46 tentang JHT dan PP Nomor 60 Tahun 2015  tentang Perubahan Atas PP 46 Tahun 2015*.

Perlu diketahui, bahwa dalam UU SJSN dan UU BPJS tidak ada perintah untuk menyediakan perumahan bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Jadi mazhabnya berbeda. UU SJSN  fokus pada jaminan sosial dengan paket 5 program yaitu JKN, JKK, JKm, JHT dan JP. Sedangkan UU Nomor 1 dan 20 tahun 2011, memang fokus pada upaya untuk penyediaan perumahan dan kawasan pemukiman dan mengembangkan konsep  rumah susun. Untuk mendapatkan sumber dana yang  pasti maka pada pasal 124 UU PKP (Perumahan dan Kawasan Pemukiman) menyebutkan ketentuan mengenai tabungan perumahan diatur tersendiri dengan undang-undang. Dengan merujuk pasal 124 tersebut lahirlah UU Tapera, jadi ada 3 UU yang terkait perumahan, tentu suatu komitmen politik yng tinggi dari negara.

Rupanya itu tidak cukup, dengan merujuk UU SJSN dan UU BPJS,  atas perintah UU tersebut untuk  membuat PP terkait Program Jaminan Hari Tua, maka terbitlah PP 46 dan PP 60, yang pada salah satu pasalnya menyebutkan; akumulasi dana JHT dan pengembangannya  yang sudah dikumpulkan peserta ( sharing dengan pemberi kerja) dan dikelola BPJS Ketenagakerjaan selama 10 tahun , *dapat dipinjamkan kepada peserta ( pekerja) sebanyak 30% untuk  uang muka perumahan. Artinya peserta tidak menerima uang tunai langsung . sedangkan dalam UU SJSN menyebutkan peserta yang sudah 10 tahun mengiur dapat meminjam sebahagian dana JHT secara tunai*.

Pada hakekatnya, UU Tapera, merupakan upaya pemerintah untuk membantu pekerja mendapatkan rumah layak huni dengan mekanisme pembayaran iuran pekerja dan pemberi kerja (seperti JHT). Dana yang terkumpul tidak boleh diambil tunai tetapi digunakan untuk pengadaan rumah.  Disatu sisi program JHT yang hak peserta mendapatkan pinjaman tunai dari tabungannya sendiri, tetapi PP mengatur hanya boleh digunakan untuk uang muka perumahan. Terjadi disharmon disini. Dan pekerja sangat dirugikan, karena seharusnya dapat fresh money untuk kepentingan modal usaha dipaksa untuk uang muka perumahan.

*Catatan kritis UU Tapera*

UU PKP Nomor 1 Tahun 2011, pada ketentuan umumnya menyebutkan:=” pendanaan adalah penyediaan sumber daya keuangan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau sumber dana lain yang dibelanjakan untuk penyelenggaraan perumahan dst”=, dan dipertegas lagi dalam norma pasal 119. Pada pasal 120 ayat b, “=kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah bagi MBR sesuai dengan standar pelayanan minimal”=.  Untuk kepentingan dan kelancara pelaksanaan UU PKP maka pada pasal 124 memungkinkan dibentuknya tabungan perumahan dengan Undang-undang.  Pengunci pada pasal 126, dengan jelas menyatakan bahwa tugas pemerintah dan pemerintah daerah, untuk memberikan kemudahan dan atau bantuan pembiayaan untuk pembangunan dan perolehan rumah umum dan rumah swadaya bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah).

UU PKP sudah sangat jelas dan terang menderang  memposisikan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mengalokasikan APBN dan APBD  untuk perumahan, dan memberikan skhema dana murah jangka panjang kepada MBR.

Mari kita cermati UU Tapera, bahwa UU tersebut memposisikan pemerintah sebagai pihak yang *BUKAN* bertanggungjawab untuk penyediaan dana untuk perumahan (MBR). Jadi UU Tapera, filosofinya tidak sejalan dengan UU PKP   yang merupakan dasar rujukan disusunnya  Tapera ( inkonsitensi).

Dalam UU Tapera, dana Tapera adalah *dana amanat*. Milik seluruh peserta dan pemupukannya, tetapi pemilik dana (pekerja dan pemberi kerja) tidak ada satu pasalpun yang melibatkan  peserta dalam berbagai  proses perencanaannya karena tidak ada keterwakilan, sehingga makna dana amanat tidak tercermin dalam pelaksanaannya.

*Komite Tapera* adalah para menteri, OJK, dan profesional, tidak ada pekerja dan pemberi kerja dalam komite sebagai pemilik dana.  OJK menjadi double fungsi sebagai pengawas internal  yang duduk dalam komite, dan juga sebagai pengawas eksternal sesuai dengan UU OJK, apakah dibolehkan?. Pertanyaan selanjutnya apakah para Menteri, OJK dan profesional dapat menjaga dan melindungi kepentingan peserta. Kalau ada persoalan antara pemerintah dengan peserta apa forum untuk menyelesaikannya.

Mari kita lihat badan hukum *BP Tapera* yang dibentuk untuk mengelola Tapera. Badan hukumnya apakah badan hukum publik , badan hukum BUMN, atau badan hukum PT. Tidak ada satu pasalpun yang tegas menyebutkan katagori badan hukumnya.  Tetapi kalau dilihat dari azasnya, tentunya badan hukum publik sesuai dengan UU SJSN dan UU BPJS. Tapi bisa juga penafsiran lain.

Ada Komisioner dan deputi komisioner yang ditunjuk oleh Presiden, dari kalangan profesional. Mekanisme pengangkatannya tidak diatur, seharusnya diatur dengan pembentukan pansel, sehingga seleksinya transparan.

Terkait dengan *azas nirlaba*, perlu jelas apakah hanya untuk BP Taperanya. Bagaimana dengan *Manager Investasi , bank pembiayaan dan lembaga pembiayaan non bank* yang akan mengelola dana tapera yang diperhitungkan bisa mencapai puluhan triliun bahkan ratusan triliun. Apa cukup diatur  dengan peraturan BP Tapera,  yang dapat menimbulkan potensi kongkalikong.  Jangan sampai ujungnya peserta ngak dapat rumah yang sudah bertahun-tahun ditunggunya.

Apa sebenarnya tujuan Tapera. Tak lain dan tak bukan adalah untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang untuk pembiayaan perumahan. Tidak ada dana pemerintah pada Tapera yang untuk peserta . dana pemerintah hanya dalam bentuk dana awal yang diberikan untuk biaya operasional BP Tapera, dan jika kurang diambil dari dana Tapera (milik peserta). Berapa besarnya, dipasal 40 tidak ada mengatur.  Harus ada norma yng mengaturnya dalam PP untuk mencegah terjadinya =moral hazard = bahkan =fraud= yang berpotensi dilakukan BP Tapera. Tidak ada pemisahan pembukuan dana/asset BP Tapera dengan dana Tapera (milik peserta)  yang diatur dalam UU Tapera. Seharusnya dapat merujuk UU BPJS yang melakukan pemisahan buku dana BPJS (dana badan) dan Dana Jaminan Sosial milik peserta.
*Potensi dana Tapera LUAR BIASA*

Besarnya dana yang diambil dari peserta (pekerja dan pemberi kerja) 3% dari gaji/upah setiap bulan. Terendah 1 kali UMP dan terbesar 20 kali UMP.  Mari kita hitung dengan jumlah pekerja penerima upah (termasuk PNS)  ada 30 juta jiwa saja, sudah berapa triliun dana  dikelola BP Tapera  selama 5, 10, 15, 20 dan 25 tahun. Sungguh luar biasa dana yang dapat dihimpun.

Disisi lain, *apakah UU Tapera  sudah menjamin berapa lama pesrta dapat rumah sejak mulai ikut Tapera. Hanya disebut urut kacang , artinya penuh  dengan ketidak pastian.*  Seharusnya UU Tapera dapat memberuikan kepastian waktu kapan rakyatnya (yang sudah menabung) bisa mendapatkan rumah.  Yang dapat dipastikan dari UU Tapera adalah menyatakan uang hasil tabungan dan pemupukannya akan dikembalikan pada usia pensiun, jika belum dapat rumah. Lama-lama BP Tapera dapat berubah bentuk menjadi Bank Tabungan Pekerja.

Dari sisi kriteria pembiayaan ada 4 kriteria yang diatur dalam salah satu pasal. Pada kriteria keempat menyatakan: *ketersediaan pemanfaatan dana, artinya sepanjang dana tersedia ,  dan pasal ini karet asli*.  Hal lain lagi, UU tersebut menyebutkan peserta dapat memiliki rumah; pembangunan rumah dan  perbaikan rumah.  Harus diperjelas status tanah dan rumah yang ditempati.

Dari sisi proporsi alokasi dana, dirinci : 35% pemupukan; 50% pemanfatan; 2,5% cadangan dan *5% pengadaan tanah*.   Proporsi 5% pengadaan tanah sanagatlah kecil dan *terindikasi BP Tapera cenderung untuk penyewaan tanah (land rent) bukan pemilikan tanah*. Kalaupun membeli tanah, yang dibeli di daerah “jin buang anak” atau “dekat kuburan”  karena lebih murah. Jika ini terjadi maka merupakan persoalan sosial yang menjadi bom waktu bagi pemerintah.

*Kesimpulan*

UU Tapera, menurut pandangan banyak pihak  semangatnya meminimaliskan kewajiban pemerintah  untuk menyediakan dana pembiayaan rumah bagi MBR.  Pembiyaannya lebih didorong pada masyarakat /peserta dengan menghimpun tabungan dana peserta yang dipotong dari gaji/upah.

Keerlibatan lembaga-lembaga non pemerintah untuk mengelola dana, akan menimbulkan persoalan hukum , moral hazar  bahkan fraud, hingga perlu dilakukan pengawasan yang ketat.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, tidak ada jaminan waktu bagi peserta *KAPAN MENDAPATKAN RUMAH*, undang-undang tersebut menggunakan kriteria-kriteria saja. Padahal  kepastian kapan dapat yang ditunggu-tunggu. *Mudah-mudahan bukan pepesan kosong yang  didapat masyarakat/peserta*.

Cibubur, 5 April 2017

Jika bermanfaat silahkan share ke teman yang lain

Tinggalkan Balasan