KPK dan Parsel

KPK dan Parsel
Oleh: DR. Poempida Hidayatulloh
Manuver Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melarang pejabat pemerintah
dan direksi badan usaha milik negara (BUMN) untuk tidak menerima gratifikasi dan
parsel pada lebaran mendatang menimbulkan kontroversi. Terlebih dengan menyebabkan
protes dan gugatan dari para pedagang parsel yang pada umumnya merupakan Usaha
Kecil dan Menengah (UKM).
Yang menjadi sorotan pada intinya adalah dalam masalah seberapa besar
pengaruh pelarangan tersebut dalam usaha mengurangi tindak korupsi di tanah air
tercinta ini. Oleh karena itulah penulis merasa tergelitik untuk sedikit memaparkan
opininya berkenaan dengan hal tersebut.
Sebelum melangkah lebih jauh, pertama kita harus dapat mengindentifikasi
beberapa faktor yang sangat berpengaruh dan menunjang tumbuh suburnya praktek
korupsi di Indonesia. Di antaranya yang paling signifikan adalah 1. Rendahnya moral, 2.
Kurangnya penegakan hukum, 3. Ketidakjelasan peraturan dan hukum yang berlaku, 4.
Kesenjangan sosial yang tinggi, dan 5. Kurangnya peluang aktualisasi jati diri manusia
Indonesia.
Sebuah badan KPK tentunya dengan segala keterbatasannya hanya berkompetensi
untuk mengakomodir poin 2 dan mungkin poin 3. Hal ini sesuai dengan hakikat KPK
untuk menegakan dan meluruskan ketidakjelasan peraturan dan hukum yang berlaku.
Sedangkan untuk ketiga poin lainnya, penulis berpendapat bukan merupakan kewenangan
ataupun kompetensi dari KPK dan banyak badan pemerintah lainnya yang lebih
berkompeten dan relevan dalam menangani masalah-masalah terkait.
Dengan adanya pelarangan penerimaan parsel ini cukup memberi kesan bahwa
KPK berusaha masuk untuk memberikan kontribusi di poin 1, yang pada dasarnya
merupakan masalah yang erat hubungannya dengan masalah agama dan pendidikan.
Padahal, semestinya tanpa ada suatu pelarangan penerimaan parsel yang bersifat formal,
setiap pejabat pemerintah dan direksi BUMN sudah mempunyai obligasi untuk tidak
melakukan hal tersebut sesuai dengan sumpah jabatan yang mereka ikrarkan pada saat
dilantik untuk menempati jabatan tertentu. Pada umumnya semua sumpah jabatan
tersebut seragam menyatakan “demi kehormatan diri di hadapan Tuhan Yang Maha Esa
bersedia untuk tidak menerima sesuatu apapun yang bukan merupakan hak dan
kewajiban dari jabatan yang dipangku”. Sumpah jabatan ini jelas mempunyai makna
lebih jauh dalam menuntut loyalitas moral para pejabat dalam hal tidak menerima apapun
termasuk dalam bentuk parsel jika itu bukan merupakan hak dan kewajibannya. Jadi
peraturan yang dimunculkan oleh KPK hanya merupakan suatu “bumbu pelengkap” dari
suatu ikrar yang memiliki ikatan moral yang kuat dalam bentuk sumpah jabatan tadi.
Rangkaian penjelasan pada paragraf di atas jelas memberikan implikasi bahwa
jika memang moral dari para pejabat tersebut tidak dapat diharapkan untuk menegakan
komitmen moral yang diikrarkan melalui sumpah jabatan, tentunya larangan KPK
sehubungan dengan penerimaan parsel ini tidak mempunyai pengaruh yang bersifat
nyata. Artinya dengan moral yang rendah praktek korupsi akan tetap berjalan walaupun
para pejabat tersebut tidak menerima parsel karena alasan apapun.
Yang sangat disayangkan adalah korban dari manuver KPK ini adalah para
pengusaha parsel yang pada umunya adalah pengusaha UKM. Padahal penghasilan
mereka dalam usaha tersebut sangat tergantung dari musim hari raya yang pada
umumnya terjadi 2 kali saja dalam 1 tahun. Maka cukup masuk diakal jika resistensi dari
kelompok pengusaha parsel ini sangat terasa berkaitan dengan larangan KPK tadi.
Bukankah keadilan yang ingin ditegakan KPK? Di mana keadilan bagi para
pengusaha parsel ini? Padahal mereka hanya bermaksud mengenyam sedikit
kemakmuran pada musim hari raya yang suci ini.
Seyogyanya KPK berkonsentrasi saja pada masalah yang berkenaan dengan
penegakan hukum seperti dijelaskan di atas. Masih banyak koruptor kelas kakap yang
belum diproses yang menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung kelar.
Kita semua sebagai Insan Indonesia yang ingin melihat terwujudnya Indonesia
sebagai negara yang bermoral dan bersih, tentunya sangat berharap agar KPK senantiasa
sukses dalam mengemban misi suci nasional ini tanpa mempertaruhkan kredibilitasnya
dalam suatu masalah mikro saja.

Tinggalkan Balasan