KRISIS ENERGI = KRISIS INTELEKTUAL

KRISIS ENERGI = KRISIS INTELEKTUAL
Oleh. DR. Poempida Hidayatulloh
Ketergantungan manusia terhadap energi semakin signifikan sejalan dengan kemajuan
peradaban dunia. Kemudahan-kemudahan yang didapat oleh manusia dengan tersedianya
berbagai macam bentuk energi dalam kehidupan membuat setiap insan menjadi semakin enggan
untuk meninggalkan peradaban tersebut. Jika dingin, tinggal pakai pemanas. Jika panas tinggal
pakai AC. Mengawetkan makanan tinggal pakai lemari es. Pergi ke mana-mana tinggal pakai
kendaraan. Ingin bicara dengan teman tinggal pakai telepon genggam. Akan sangat banyak lagi
contoh-contoh kemudahan yang ada dengan ketersediaan energi.
Padahal, di jaman batu, energi panas hanya dipakai untuk membakar atau memasak
makanan dan menghangatkan tubuh dikala musim dingin. Energi lain yang tersedia di jaman itu
hanyalah energi dari tenaga hewan yang dimanfaatkan kemudian untuk angkutan. Dengan
akalnya evolusi manusia kemudian membuahkan berbagai penemuan yang mempermudah
eksploitasi berbagai bentuk energi untuk kehidupan.
Sejalan dengan semakin bertambahnya jumlah populasi dunia, kebutuhan energi pun
semakin bertambah. Mengakibatkan harga dasar atau biaya untuk memproduksi energi semakin
meningkat. Jika demikian terus menerus dibiarkan, maka tidaklah heran jika suatu ketika terjadi
suatu kelangkaan energi yang diakibatkan oleh besarnya kebutuhan (demand) energi dan
sedikitnya ketersediaan (supply) energi.
Kini, di abad ke 21, manusia dihadapi oleh suatu krisis energi, yang diakibatkan
ketergantungan yang berlebihan oleh pemakaian bahan bakar fosil sebagai sumber energi.
Padahal kita semua tahu bahwa bahan bakar fosil suatu saat akan habis. Ditambah lagi dengan
sistem perdagangan komoditas yang dilandasi politik ekonomi yang kapitalistik, membuat
komoditas bahan bakar fosil menjadi ajang spekulasi para pedagang komoditas. Hal ini
mengakibatkan rentannya stabilitas harga komoditas tersebut terhadap permainan spekulan.
Lebih ironis lagi, dengan sistem politik ekonomi di atas, penemuan-penemuan baru untuk
energi alernatif menjadi kurang menarik secara komersial, sehingga upaya-upaya pengembangan
energi alternatif terlimitasi di tahap penelitian maupun prototipe saja. Mengapa demikian?
Karena teknologi baru untuk menciptakan energi alternatif tersebut, pada umumnya jelas-jelas
akan sulit berkompetisi dengan leluasa secara komersial dibandingkan dengan energi yang sudah
memasyarakat dan terdistribusikan dengan baik.
Di dalam keadaan tersebut, diperlukan suatu kehendak politik (political will) yang cukup
signifikan untuk dapat munculnya dan tersosialisasinya suatu pemakaian bentuk energi baru.
Program Konversi Minyak Tanah ke Gas
Contoh yang hangat belakangan ini di Indonesia, adalah ‘Program Konversi Minyak
Tanah ke Gas’. Dengan dorongan politik yang cukup, walaupun tersendat program yang baik
tersebut dapat berjalan walaupun agak tersendat karena beberapa hal.
Pemakaian gas jauh lebih baik dari pemakaian minyak tanah. Pemerintah bisa hanya
berkonsentrasi dalam pengurangan biaya subsidi minyak tanah yang lebih besar. Namun
demikian, pemakaian kompor gas untuk keperluan rumah tangga jauh lebih efisien dan mudah
pakai. Panas yang didapat dari pembakaran gas pun lebih optimal. Juga hasil pembakaran gas
lebih sempurna dari pembakaran minyak tanah, sehingga mengurangi polusi karbon yang
berbahaya.
Lalu, jika memang program sebaik itu banyak bermanfaat untuk masyarakat, mengapa
dapat terkendala? Padahal pemerintah sudah sangat mendukung sampai 100 persen.
Hal ini disebabkan oleh terganggunya para pemain komersial minyak tanah yang selama
puluhan tahun telah menikmati bisnis minyak tanah bersubsidi. Bagaimana pun caranya mereka
tentunya akan melakukan intervensi agar langkah pemerintah untuk program konversi tersebut
dapat terhenti. Orang-orang yang cenderung mengambil keuntungan sesaat ini memang zalim,
karena mereka tidak berpikir untuk rakyat banyak dan masa depan bangsa. Sudah seyogyanya
orang-orang seperti ini mendapatkan penalti secara yuridis.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
Ditengah-tengah besarnya permintaan energi listrik seperti sekarang ini sempat juga
terpikirkan oleh sebagian insan di Indonesia untuk membanguan Pembangkit Listrik Tenaga
Nuklir (PLTN). Pemikiran tersebut memang sangat masuk akal, karena didorong oleh kenyataan
bahwa supply energi listrik terutama di Jawa dan Sumatera sudah berada di titik nadir.
PLTN dapat menghasilkan supply listrik yang signifikan, yang dapat menstimulan
pertumbuhan industri yang ujungnya bermuara ke pertumbuhan ekonomi yang lebih mapan.
Untuk masalah PLTN ini, Bangsa Indonesia dihadapkan oleh dua problematika. Yang
pertama, berkaitan dengan politik luar negeri negara-negara maju. Yang kedua, protes dari
orang-orang yang mengatasnamakan pencinta lingkungan.
Politik luar negeri negara-negara maju, sangat sensitif dengan pemanfaatan Nuklir
sebagai energi, dan selalu membawa isu keamanan dunia. Mereka sangat takut jika bangsa
sebesar Bangsa Indonesia memanfaatkan teknologi tersebut tidak hanya untuk supply energi,
tetap juga untuk menciptakan senjata nuklir. Yang mereka lupa adalah Bangsa Indonesia adalah
bangsa yang cinta damai. Bahkan belakangan ini Bangsa Indonesia telah menjadi Bangsa yang
terbesar yang telah berhasil mengimplementasikan demokrasi tanpa melewati suatu perhelatan
konflik yang berkepanjangan. Selain dari pada itu juga konflik-konflik yang signifikan telah
berhasil ditanggulangi dalam bentuk perdamaian yang stabil. Jadi tidak beralasan jika negaranegara
maju tersebut menjadi ragu dengan komitmen Bangsa Indonesia dalam hal perdamaian.
Protes para pencinta lingkungan berkutat di putaran isu mengenai pencemaran radiasi
nuklir akibat dari kebocoran reaktor dan pembuangan sampah nuklir. Untuk isu yang pertama itu
tidak relevan. Karena selama beberapa dekade terakhir kebocoran reaktor nuklir hanya terjadi di
Chernobyl, Rusia. Jadi sebenarnya, teknologi PLTN sudah stabil.
Banyak juga instalasi yang cukup rawan terhadap berbagai ledakan di Indonesia. Bangsa
Indonesia pun mampu me-manage instalasi-instalasi tersebut dengan baik. Penulis mempunyai
keyakinan bahwa sumber daya manusia Indonesia pun mampu me-manage sebuah Instalasi
PLTN dengan baik. Dalam konteks ini tentunya dalam hal pengoperasian dan pengelolaan
sampah nuklir yang menjadi pemrotes lingkungan tadi.
Jika ditarik benang merah mungkin saja ada titik temu di antara kepentingan dua
problematika tadi. Alasannya, tentunya mereka ini tidak ingin Bangsa Indonesia bisa maju secara
ekonomi sehingga menjadi bangsa yang besar dan mandiri.
Energi Alternatif
Banyak sudah tersedia berbagai teknologi alternatif untuk membangkitkan energi, mulai
dari tenaga surya, angin bahkan sampai Panas Bumi (Geotermal). Hanya saja memang biaya
investasi memang relatif lebih tinggi untuk per-unit listrik yang dihasilkan. Sehingga acap kali,
PLN tidak bersedia membeli dengan harga yang diinginkan oleh investor. Walaupun
perkembangan belakangan ini, PLN sudah menaikkan tarif pembelian listrik dari Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Namun demikian perhatian terhadap energi listrik dari sinar
surya maupun angin perlu juga mendapat perhatian. Mengapa demikian? energi dari keduanya
boleh dikatakan mahal, namun sebagai energi yang terbarukan, yang senantiasa terus menerus
dapat dipakai, dapat menjadi suatu landasan politik energi Bangsa Indonesia ke depan. Selain
daripada pembangunan instalasinya yang lebih cepat untuk mengejar percepatan pertumbuhan
demand energi, kedua teknologi tersebut sangatlah ramah lingkungan, hampir dipastikan tidak
menimbulkan polusi yang signifikan.
Dengan demikian, sudah seyogyanya pemerintah memberikan perhatian khusus kepada
pemanfaatan kedua teknologi tersebut.
Krisis Intelektual
Jika menyimak lebih lanjut tentang keberadaan krisis energi yang digembar-gemborkan,
tentunya tidaklah beralasan pengangkatan isu tersebut. Karena, dengan tersedianya berbagai
sumber daya alam dan teknologi yang bervariasi, sudah seyogyanya para pengambil keputusan
menerapkan strategi yang mapan terutama dalam penyusunan peraturan yang terkait dengan
pemberdayaan energi. Di sinilah kemampuan intelektual mereka dalam menganalisi,
merencanakan dan mengimplementasikan suatu kebijakan ditantang.
Kegagalan dalam melaksanakan hal tersebut dapat dipastikan sebagai kegagalan
intelektual. Dengan demikian, kesimpulannya, jika terjadi krisis energi, sebetulnya merupakan
suatu krisis intelektual belaka.

Tinggalkan Balasan