ENERGI ANGIN

ENERGI ANGIN

“Menuju PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu – Angin) Komersial Pertama di Indonesia”

Oleh Poempida Hidayatulloh

Banyak pihak mengatakan bahwa angin di Bumi Indonesia ini merupakan angin sepoi-sepoi yang kemudian tidak akan kunjung ekonomis jika dijadikan pembangkit tenaga listrik. Skeptisme seperti ini memang lumrah berada di benak umumnya khalayak, karena memang kecepatan angin rata-rata di daerah tropis hanya berkisaran 1-3 m/detik saja.

Pada umumnya khalayak ini hanya melakukan referensi melalui panca indera-nya yang senantiasa terbatas dalam akurasi dan reliabilitas nya. Mampukah panca indera kita merasakan adanya minyak bumi ratusan meter di bawah tanah? Mampukah panca indera mengukur panasnya lava di dalam inti bumi? Dan tentunya masih banyak yang lainnya. Namun demikian kita sebagai manusia yang teredukasi percaya bahwa dengan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat kita dapat menentukan sumber-sumber energi seperti Minyak Bumi, Batu Bara, dan Panas Bumi untuk membangun peradaban manusia menuju ke arah yang lebih baik lagi.

Sejak di bangku sekolah dasar kita sudah diperkenalkan bahwa Angin itu adalah udara yang bergerak. Jika mengacu kepada hukum kekekalan energi, maka ada energi yang menggerakan udara tersebut, dan tentunya angin yang bergerak dapat dikonversi menjadi bentuk energi lain. Angin pada dasarnya terbentuk dikarenakan perbedaan tekanan udara antara satu tempat dan tempat yang lain. Dalam konteks ini perbedaan tekanan tadi secara dominan banyak dipengaruhi perbedaan suhu udara di permukaan bumi akibat pemanasan udara oleh sinar matahari. Dengan kata lain energi angin adalah energi sekunder dari energi panas sinar matahari.

Energi angin sudah dimanfaatkan sebagai sumber tenaga dari dahulu kala. Kapal Pinisi Bugis jaman dahulu dan kapal-kapal layar lainnya hanya mengandalkan tenaga angin untuk menjadi sarana transportasi. Di Eropa sejak dulu tenaga angin dimanfaatkan untuk menggiling gandum.

Sama dengan jenis fluida lainnya yaitu air, angin mengalir secara unik. Ada daerah yang memang mempunyai densitas angin tinggi ada pula yang rendah. Untuk mengetahuinya memang diperlukan suatu studi yang dilakukan secara ilmiah didukung dengan sarana dan prasaran teknologi yang cukup.

Seharusnya dengan melakukan korelasi dan interpolasi data satelit dan data dari pengamat cuaca (Badan Meteorologi dan Geofisika – BMG) kita dapat melakukan analisa yang cukup untuk menentukan di daerah mana saja angin bertiup kenang secara regular dan konsisten. Namun alat-alat sensor yang dimiliki oleh BMG tidak cukup rapat dan padat secara densitas untuk mengidentifikasi kecepatan angin di seluruh Bumi Indonesia untuk mendapatkan data yang akurat. Minimnya data yang kita miliki ini mengharuskan suatu survei dan studi khusus untuk memetakan migrasi angin di seluruh Indonesia secara lebih rinci dan akurat.

Sebagai seorang “Aeronautical Engineer” yang banyak menggeluti ilmu fluida, saya selalu berkeyakinan bahwa peta pergerakan angin unik walaupun tidak permanen. Sehingga jika kita analisa lebih lanjut dengan teliti dan terinci saya yakin kita semua dapat menemukan titik-titik di daerah mana yang potensi untuk mengembangkan Pembangkit listrik Tenaga Bayu/Angin ini (PLTB).

Sekedar catatan saja, bahwa selain perbedaan suhu udara dan permukaan bumi, kecepatan angin pun ditentukan oleh “contour” (pola) permukaan bumi yang berbeda-beda tinggi rendahnya. Oleh karena itu suatu angin sepoi-sepoi pun jika mengalami kompresi diakibatkan perbedaan pola permukaan tanah tadi dapat menghasilkan suatu angin dengan kecepatan yang signifikan.

Mengingat sangat luasnya wilayah Indonesia dan beragamnya “contour” permukaan daratannya, potensi angin di Indonesia pun tidak boleh disepelekan.

Lalu mengapa PLTB di Indonesia tidak berkembang? Ini mungkin diakibatkan kayanya sumber daya alam penghasil energi seperti minyak bumi, gas alam dan batu bara, sehingga kita dininabobokan oleh kekayaan yang ada.

Pesatnya pertumbuhan PLTB dunia didorong oleh semakin mahalnya harga sumber daya alam penghasil energi (energi fosil) di atas dan juga berkaitan dengan isyu lingkungan. Dengan pencemaran emisi karbon (CO dan CO2) yang dilepas ke udara dari hasil pemanfaatan energi fosil ini ternyata menyebabkan perubahan iklim yang diakibatkan oleh pemanasan bumi dengan menipisnya lapisan ozone (O3) di atmosfir. Isyu pemanasan global ini telah menjadi suatu isyu lingkungan yang mendunia dan menjadi kekhawatiran semua negara-negara di dunia.

PLTB tidak melepaskan emisi karbon ke udara dan merupakan energi yang “renewable” (terbarukan). Oleh karena itu PLTB dikategorikan sebagai pembangkit listrik yang ramah lingkungan, karena selain tidak melepaskan emisi karbon, juga tidak memproduksi limbah yang dapat merusak air dan tanah.

Untuk mengembangkan PLTB yang komersial memang harus memenuhi beberapa syarat:

  1. Lokasi PLTB memiliki kecepatan angin rata-rata tahunan yang cukup (>5 m/detik) dan konsisten sepanjang tahun.
  2. Demand (kebutuhan) energi yang masih kurang di lokasi tersebut.
  3. Jangkauan terhadap jaringan distribusi (grid) listrik tidak terlampau jauh.
  4. Harga teknologi yang kompetitif.
  5. Harga beli listrik oleh pengguna (dalam hal ini PLN) yang tepat.
  6. Tersedianya infrastruktur pendukung yang memadai di sekitar lokasi.

Peran pemerintah dalam pengembangan PLTB sangatlah diperlukan. Harapan dari pengembang, pemerintah dapat memberikan keleluasaan dan insentif untuk melakukan pembangunan PLTB yang berupa kebijakan-kebijakan seperti pembebasan bea-import, penangguhan pajak, penetapan harga beli yang menarik dan jika diperlukan subsidi.

Jika hanya mengandalkan harga beli PLN berkisar di Rp. 650 per kwh, komersialitas tidak akan pernah tercapai. Karena jika menggunakan teknologi PLTB dari Eropa  yang biayanya memakan US$ 1,9 juta (+/- 19 Milyar Rupiah) per MW turbin terinstal, IRR (Internal Rate of Return) yang diharapkan jelas di bawah 10% saja. Sedangkan jika memakai jika menggunakan teknologi PLTB dari Cina yang biayanya memakan US$ 1,5 juta (+/- 15 Milyar Rupiah) per MW turbin terinstal, IRR yang diharapkan baru mencapai 10% , hal ini masih jauh dari komersialitas yang diharapkan.

Tentunya untuk mencapai IRR sekitar 18% atau lebih yang komersial, harga beli PLN harus berada di kisaran angka Rp 950,- s/d Rp 1050,- per kwh, ini pun hanya dicapai jika menggunakan teknologi PLTB dari Cina yang harganya lebih kompetitif.

Demikian saja tulisan ini sebagai masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah RI untuk kemajuan dan pengembangan PLTB di seluruh Indonesia.

3 comments

Tinggalkan Balasan